Tidak ada satu pasal pun dalam Konstitusi yang menyebutkan secara eksplisit dan tegas bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempunyai kewenangan untuk melakukan rekrutmen atau pemilihan pejabat atau penyelenggara negara.
DPR mempunyai fungsi dan wewenang yang telah dirumuskan secara eksplisit dan limitatif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 yakni fungsi legislasi sebagai pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Selain itu, DPR juga diberikan hak diantaranya hak angket, hak interpelasi, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan, dan hak imunitas.
“Oleh karena itu, proses rekrutmen atau pemilihan pejabat negara termasuk Pimpinan KPK yang dilakukan DPR tidak sesuai dengan tiga fungsi tersebut,” ujar Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto saat memberikan keterangan dalam pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (15/4).
Dalam konteks fungsi pengawasan, imbuhnya, DPR mempunyai hak untuk mengajukan pernyataan setuju atau tidak setuju, tidak dapat melakukan technical selection seperti yang dilakukan panitia seleksi (pansel). Namun faktanya, proses pemilihan oleh DPR bersifat technical selection disertai dengan potensi konflik kepentingan dan political intervention. “Proses rekrutmen pada suatu lembaga negara yang sifatnya independen sebaiknya meniadakan kelibatkan eksekutif atau legislatif karena berpotensi timbul pengaruh politik, baik laten maupun manifes,” tegasnya.
Kebijakan Diskriminatif
Membandingkan pola rekrutmen pimpinan lembaga negara di Indonesia, ada ketidakseragaman dalam melakukan proses rekrutmen. Menurut Bambang, telah terjadi tindakan diskriminatif dalam proses rekrutmen Pimpinan KPK dibandingkan lembaga lainnya. KPK adalah satu-satunya lembaga yang proses rekrutmen dan susunan pimpinannya, terutama ketuanya, ditentukan oleh DPR. Padahal lembaga lainnya yang independen, menentukan sendiri pemilihan ketuanya.
“Fakta tersebut semakin menegaskan adanya kebijakan yang bersifat diskriminatif selain potensi dan fakta intervensi atas KPK, salah satunya melalui proses rekrutmen pimpinannya,” jelasnya.
Open Legal Policy
Sementara Pemerintah yang diwakili oleh Plt. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi menilai mekanisme pengisian jabatan anggota KPK tidak secara eksplisit diatur dalam UUD 1945. Oleh karena itu, mekanisme tersebuta merupakan pilihan kebijakan (open legal policy) pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Presiden.
Lebih lanjut, menurut Pemerintah, independensi suatu lembaga tidak hanya dapat diukur dalam proses pengisian jabatannya saja. Makna independensi KPK, menurutnya, terdapat dalam Pasal 3 UU KPK yang menyatakan:
“Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”
Sebelumnya, akademisi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta menilai kewenangan DPR yang dapat memilih calon anggota KY dan KPK kebablasan. Adanya kewenangan itu, dianggap dapat memengaruhi independensi dua lembaga hukum tersebut. Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya Zairin Harahap menilai Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) huruf c, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY dan Pasal 30 ayat (1), ayat (10), dan ayat (11) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945.
“Keterlibatan DPR dalam menetukan calon anggota KY dan calon anggota KPK sebagaimana yang diatur dalam pasal-pasal a quo sangat bertentangan dengan tujuan pembentukan KY dan KPK sebagai lembaga negara yang independen. Oleh karena itu, Pemohon menganggap pasal-pasal a quo telah menimbulkan kerugian hak konstitusionalnya Yang Mulia,” kata Zairin saat membacakan permohonannya dalam sidang perdana Perkara Nomor 16/PUU-XII/2014, Selasa (11/3).
Pasal 28 ayat (6), Pasal 28 ayat (3) Huruf C, dan Pasal 37 ayat (1) UU KY berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28 ayat (6): “DPR wajib memilih dan menetapkan 7 (tujuh) calon anggota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima usul dari Presiden”.
Pasal 28 ayat (3) huruf c: “Panitia seleksi mempunyai tugas: menentukan dan menyampaikan calon anggota Komisi Yudisial sebanyak 21 (dua puluh satu) calon dengan memperhatikan komposisi anggota Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari”.
Pasal 37 ayat (1): “Dalam hal terjadi kekosongan keanggotaan Komisi Yudisial, Presiden mengajukan calon anggota pengganti sebanyak 3 (tiga) kali dari jumlah keanggotaan yang kosong kepada DPR”;
Adapun Pasal 30 ayat (1), ayat (10), dan ayat (11) UU KPK berbunyi sebagai berikut :
Pasal 30 ayat (1): “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Pasal 30 ayat (10) : “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan 5 (lima) calon yang dibutuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya usul dari Presiden Republik Indonesia”.
Pasal 30 ayat (11): “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia wajib memilih dan menetapkan di antara calon sebagaimana dimaksud pada ayat (10), seorang Ketua sedangkan 4 (empat) calon anggota lainnya dengan sendirinya menjadi Wakil Ketua”.
Pasal-pasal tersebut, dinilai bertentangan dengan Pasal 24B ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan: “Anggota KY diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR”
Kewenangan konstitusional DPR dalam rekrutmen anggota KY hanya bersifat ‘persetujuan’ bukan untuk ‘memilih’. Sehingga, frasa ‘memilih dan menetapkan’ pada Pasal 28 ayat (6) UU KY bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 24B ayat (3). Pun halnya dengan frasa ‘memilih dan menetapkan’ pada Pasal 30 ayat (10) dan ayat (11) UU KPK yang bertentangan dengan UU MD3 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. (Lulu Hanifah/mh)