Pemerintah yang diwakili Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Mualimin Abdi menilai permohonan pengujian penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS) tidak konsisten dan tidak operasional yang pada gilirannya menimbulkan kerancuan pada permohonan itu sendiri.
Hal tersebut disampaikan Mualimin dalam sidang lanjutan pengujian UU AAPS yang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva. Dalam ketentuan Pasal 70 UU AAPS, menurut Mualimin, seseorang dapat dinyatakan bersalah dalam hukum setelah dilakukan pembuktian, hal tersebut dikuatkan dengan penjelasan pasal tersebut. Dengan kata lain, Penjelasan pasal 70 UU AAPS telah selaras dengan maksud dan fungsi norma yang diatur dalam pasal tersebut. Apabila penjelasan Pasal 70 UU AAPS dikatakan bertentangan dengan normanya, maka penjelasan tersebut akan kehilangan penafsirannya. “Sehingga bagi pihak yang memenangkan proses arbitrase akan kehilangan hak-hak konstitusionalnya dan tidak akan mendapatkan manfaat keadilan dan kepastian hukum dalam melakukan eksekusi putusan arbitrase itu sendiri,” ujarnya di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Senin (14/4).
Ia pun menjelaskan arbitrase yang diatur dalam UU AAPS merupakan suatu cara penyelesaian sengketa di luar peradilan umum yang diselesaikan dengan cara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Namun tidak semua sengketa dapat diselesaikan dengan arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka itu sendiri. Berbeda dengan proses di pengadilan negeri yang mengenal sistem banding dan kasasi, dalam proses penyelesaian sengketa dengan arbitrase tidak mengenal sistem banding, kasasi, maupun peninjauan kembali. “Hal ini guna menjaga agar sistem penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak berlarut-larut,” imbuhnya.
Menurut Mualimin, perlu adanya itikad baik dari masing-masing pihak yang bersengketa ketika memilih proses penyelesaian sengketa dengan arbitrase untuk mencapai penyelesaian. Itikad baik dimaknai apabila para pihak bersedia membahas kepentingannya masing-masing dan dikerjakan dengan cara efektif dan tidak membuang-buang waktu, wajar, dan menunjukkan proaktif keinginan untuk menyelesaikan sengketa. Termasuk bersedia menerima putusan arbitrase sebagai putusan akhir atau final. Karena itu pengajuan banding kepada pengadilan untuk membatalkan putusan, dikatakan Mualimin merupakan sikap yang beritikad tidak baik.
Sebelumnya, sejumlah pihak yang bersengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menggugat penjelasan Pasal 70 UU AAPS ke MK. Dalam sidang perdana Perkara Nomor 15/PUU-XII/2014 tersebut, Pemohon yang diwakili kuasa hukum Andi Syafrani merasa berpotensi dirugikan dengan penjelasan Pasal 70 UU AAPS. Pemohon pernah bersengketa di BANI dengan Perkara Nomor 443/I/ARB-BANI/2012. BANI memutuskan mengabulkan sebagian apa dimintakan dalam gugatan, tetapi Pemohon merasa ada beberapa hal yang masih perlu dipertimbangkan ulang dalam putusan itu.
“Karenanya kami menggunakan hak kami sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh Undang-Undang AAPS untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase di BANI yang diajukan ke Pengadilan Negeri Bandung karena putusan tersebut didaftar diregistrasi di sana tempat di mana pihak Tergugat berada,” jelas Andi, Kamis (6/3) silam.
Dalam putusan di Pengadilan Negeri Bandung, Andi mengaku gugatan Pemohon banyak dikabulkan. Pihak Termohon lalu mengajukan proses banding dan hingga kini masih berproses.
Pasal 70 UU AAPS menyatakan:
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa
Adapun penjelasan Pasal 70 UU AAPS menyatakan: ....Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.
Penjelasan Pasal 70 UU AAPS dinilai Pemohon mengandung norma baru atau perubahan terselubung yang bertentangan dengan substansi pokok pasalnya. Selain itu Pemohon juga menilai penjelasan Pasal 70 tidak operasional dan menghalangi hak hukum untuk pencari keadilan. Oleh karena itu, Pasal 70 UU AAPS tersebut dinilai bertentangan dengan konstitusi khususnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. (Lulu Hanifah/mh)