Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) Janedjri M. Gaffar menyampaikan materi seputar MK dan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa Pemilu legislatif dalam acara kuliah umum di Universitas Udayana, Bali, Minggu (6/4). Janedri menyampaikan aturan-aturan baru yang harus ditaati pihak yang berperkara di MK dalam sengketa Pemilu legislatif.
Janedjri menyampaikan MK memiliki lima kewenangan yang salah satunya adalah menyelesaikan sengketa Pemilu legislatif. Pada dasarnya, seketa tersebut terjadi antara peserta Pemilu legislatif, yaitu anggota DPR, DPRD, maupun DPD dengan KPU. Objek perselisihan bisa berupa penetapan suara atau adanya sengketa perolehan hasil suara.
Berbeda dengan peradilan umum, di MK pihak yang mengajukan permohonan disebut Pemohon, sedangkan pihak yang digugat disebut Termohon. “Bagi peserta Pemilu, yakni partai politik dan perseorangan anggota DPD yang mengajukan permohon disebut sebagai Pemohon. Permohonan yang diajukan oleh Pemohon harus dijawab oleh KPU selaku Termohon. Sedangkan pihak yang berkepentingan dengan permohonan yang diajukan disebut Pihak Terkait, yakni parpol lainnya yang memiliki kemungkinan suaranya terganggu akibat permohonan Pemohon,” jelas Janedjri.
Selain itu, dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) tentang Pedoman Beracara dalam PHPU Anggota DPR, DPRD, dan DPD ada satu pihak lagi yang terlibat dalam persidangan sengketa Pileg, yaitu Bawaslu. Badan Pengawas Pemilu menjadi pihak pemberi keterangan terkait pelaksanaan Pileg. Dalam sengketa Pileg 2014, calon anggota legislatif kali ini diberikan legal standing untuk mengajukan permohonan. Namun, MK juga mensyaratkan pengajuan permohonan tersebut harus mendapat persetujuan tertulis dari partai politik. Dengan begitu, antar caleg di dalam satu daerah pemilihan (dapil) dapat bersengketa ke MK usai memenuhi syarat tersebut.
Janedjri menjelaskan aturan tersebut muncul setelah salah seorang caleg mengajukan uji materi pada tahun 2009. Saat itu, untuk menentukan caleg terpilih di dalam satu dapil dipakai aturan caleg nomor urut pertama yang terpilih. Aturan tersebut dianggap merugikan caleg nomor urut terakhir. Sebab, rata-rata caleg dalam satu dapil tidak ada yang memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) sehingga caleg yang berada di urutan pertamalah yang mendapat akumulasi suara dari caleg di urutan di bawahnya. Meski, caleg di nomor urut bawah mendapatkan suara lebih banyak dari caleg nomor urut satu. “Itu kan merugikan caleg nomor urut bawah dan merugikan masyarakat yang memilih. Permohonan itu akhirnya dikabulkan Mahkamah. Sehingga sekarang untuk menentukan caleg terpilih berdasar suara terbanyak, bukan nomor urut,” ujar Janedri. (Yusti Nurul Agustin/Ganie/mh)