Sidang uji materi UU No. 13/2010 tentang Hortikultura - Perkara No. 20 /PUU-XII/2014 – digelar pada Kamis (10/4) siang di ruang sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Pemerintah yang diwakili oleh Mualimin Abdi selaku Direktur Litigasi Kemenkum dan HAM.
“Indonesia merupakan salah satu negara mega biodiversity yang memiliki kekayaan flora terbesar di dunia. Hal ini dapat menjadi modal dasar dalam pengembangan produk pertanian tropis, termasuk produk hortikultura yang terdiri atas tanaman, buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan tanaman obat. Dibandingkan komoditas pertanian lainnya, produk hortikultura memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Dengan demikian, pengembangannya diharapkan berdampak nyata terhadap pendapatan masyarakat, penyediaan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi secara nasional,” papar Mualimin kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva.
Dalam rangka merebut pasar global, kata Mualimin, produk hortikultura nasional perlu mendapatkan sentuhan inovasi teknologi untuk meningkatkan daya saing. Potensi pasar produk hortikultura sangat cerah, baik pasar domestik maupun ekspor. Cerahnya prospek pasar domestik ditunjang oleh tingginya jumlah penduduk dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Namun kenyataannya, lanjut Mualimin, pangsa pasar domestik yang besar tersebut belum termanfaatkan secara maksimal, sebagaimana tecermin pada tingkat konsumsi produk sayuran dan buah-buahan yang masih jauh di bawah rekomendasi Food and Agriculture Organization (FAO). “Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pasar domestik tersebut dimanfaatkan oleh negara lain dengan mengekspor produk hortikultura ke Indonesia. Hal ini menyebabkan ketergantungan masyarakat terhadap produk impor yang dalam jangka panjang akan menguras devisa negara,” ujar Mualimin.
Pengembangan Hortikultura Secara Holistik
Guna mengoptimalkan potensi prospek hortikultura nasional, diperlukan arah dan kebijakan pengembangan hortikultura secara holistik dan terpadu sejak sektor hulu, mulai dari penyediaan sarana, prasarana pendukung, benih, modal, dan sumber daya manusia yang memadai, diikuti oleh pembenahan sistem produksi, distribusi, pemasaran, dan peningkatan konsumsi holtikultura.
Dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, ungkap Mualimin, peran utama pemerintah ialah membangun iklim usaha sebagai motivator, fasilitator, regulator, dinamisator, dan pemantauan serta pengawasan, sehingga masing-masing pelaku dapat bekerja dan berinteraksi secara maksimal berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan.
Mualimin melanjutkan, lahirnya UU No. 13/2010 tentang Hortikultura antara lain dilandasi oleh karakteristik pengembangan usaha hortikultura yang berbeda dengan tanaman pangan maupun perkebunan khususnya yang menyangkut pola pengusahaan, penanganan produksi dan pasca panen, kebutuhan sarana dan pra sarana, tata niaga, dan kelembagaan. Selain itu dilandasi oleh komoditas hortikultura yang pada umumnya cepat rusak, memakan tempat.
“Komoditas hortikultura sangat berorientasi pasar atau konsumen, bahkan sebagian sangat ditentukan oleh preferensi konsumen itu sendiri. Oleh karena itu pengembangan komoditas hortikultura harus memperhatikan dinamika selera konsumen yang beragam dan fanatisme serta adanya perubahannya,” ucap Mualimin.
Sebagaimana diketahui, Fahrudin dkk. selaku Pemohon mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal 100 ayat (3) dan Pasal 131 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura yang dianggap bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28C ayat (2), serta Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 100 ayat (3) menyatakan, “Besarnya penanaman modal asing dibatasi paling banyak 30% (tiga puluh persen)”. Adapun Pasal 131 ayat (2) berbunyi, “Dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sesudah Undang-Undang ini mulai berlaku, penanaman modal asing yang sudah melakukan penanaman modal dan mendapatkan ijin usaha wajib memenuhi ketentuan dalam Pasal 100 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).”
Alasan Pemohon, pemodal asing yang sedang menjalankan investasinya dalam industri perbenihan, harus melepas modalnya hingga 30%. Hal ini dianggap Pemohon, mematikan industri hortikultura karena pembatasan modal di sektor pembenihan. (Nano Tresna Arfana/mh)