Penggunaan spektrum frekuensi radio merupakan bagian dari penyelenggara jaringan telekomunikasi, maka masyarakat umum tidak pernah dibebankan kewajiban pembayaran biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi) beserta peraturan pelaksanaannya. Hal ini ditegaskan oleh Direktur Jenderal Sumber Daya dan dan Perangkat Pos dan Informatika Kemenkominfo Muhammad Budi Setiawan dalam sidang yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (10/4) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Oleh karena (biaya penyelenggaraan telekomunikasi) tidak pernah dibebankan kepada para Pemohon, maka menjadi sangat jelas tidak adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan diuji, sehingga ketentuan a quo tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” ungkap Budi di hadapan sidang Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Selain itu, ia menjelaskan biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi merupakan kewajiban yang dikenakan kepada penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi sebagai kompensasi atas perizinan yang diperolehnya dalam penyelenggaraan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi yang besarnya ditetapkan berdasarkan persentase dari pendapatan penyelenggaraan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi, serta merupakan PNBP yang disetor ke kas negara.
Sementara terkait dengan dalil Para Pemohon yang menganggap pemerintah sewenang-wenang dan tanpa batas dengan menambah jenis penerimaan PNBP dengan peraturan pemerintah, Budi menguraikan hal tersebut terbukti tidak benar dan tidak berdasar. “Karena justru dengan memberikan ketentuan lebih lanjut ke dalam peraturan pemerintah memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan, dan pengelolaan penerimaan negara bukan pajak,” urainya.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya Pradnanda Berbudy, mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNPB serta Pasal 16, Pasal 26 dan pasal 34 UU Telekomunikasi. Menurut Pemohon, kedua undang-undang tersebut adalah dasar hukum bagi Pemerintah melakukan pungutan bukan pajak. Pradnanda menjelaskan ada tiga penerimaan yakni Universal Service Obligation, biaya penyelenggaran telekomunikasi dan frekuensi. UU tersebut dinilai mengamanatkan kepada Pemerintah untuk diatur lebih lanjut dengan PP No. 7/2009 yang berlaku kepada Kementerian Komunikasi dan Telekomunikasi. Ketiga pungutan tersebut PNBP, tapi tidak diatur secara tegas nominal angkanya. Ternyata nominal angka diatur dalam lampiran. Hal ini tidak menunjukkan ketidakpastian hukum karena tidak diatur undang-undang, namun di PP, itupun hanya melalui lampiran. (Lulu Anjarsari/mh)