Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Pengujian Undang-Undang (PUU) MK dan Perpu MK yang diajukan oleh Herdaru Manfa Luthfie dan Fajar Kurniawan, Senin (7/3). Mahkamah menyatakan permohonan pengujian Perpu MK ne bis in idem dan objek permohonannya sudah tidak ada. Sementara permohonan pengujian UU MK dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.
Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi yang membacakan kutipan pendapat Mahkamah dalam Putusan No. 80/PUU-XI/2013 itu mengatakan ketentuan Pasal 19 UU MK menekankan adanya sikap transparan dan partisipatif dalam proses pencalonan hakim konstitusi. Dengan menafsirkan Pasal 19 UU MK dan mengaitkan dengan penjelasannya, maka kata transparan dan partisipatif yang dimaksud oleh pasal tersebut harus dimaknai sebagai upaya secara terbuka. Sehingga, memungkinkan atau membuka kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan masukan kepada pihak-pihak yang terkait seleksi hakim konstitusi perihal calon hakim konstitusi yang akan atau sedang diseleksi. Adapun mengenai cara yang dipilih oleh pembentuk undang-undang untuk memastikan adaya upaya transparan dan partisipatif, yaitu dengan publikasi melalui media massa baik cetak maupun elektronik, sebagaimana dijelaskan oleh Penjelasan Pasal 19 UU MK.
Sementara itu, kewenangan mengajukan calon hakim konstitusi oleh ketiga lembaga negara (MA, DPR, presiden) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 adalah kewenangan atributif yang bersifat mutlak yang dimiliki oleh ketiga lembaga negara tersebut. Hal tersebut sudah pernah Mahkamah pertimbangkan dalam Putusan Nomor 1-2/PUU-XII/2014 bertanggal 13 Februari 2014.
Sebelumnya, Para Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 20 ayat (1) UU MK tidak pernah dilaksanakan sehingga ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menurut Mahkamah, penilaian demikian tidak tepat karena semua ketentuan dalam UU MK memiliki kekuatan hukum mengikat selama telah dibentuk sesuai dengan norma-norma pembentukan peraturan perundang-undangan serta tidak dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi oleh lembaga yang berwenang.
“Jika penilaian para Pemohon tersebut terkait dengan pelaksanaan ketentuan Pasal 19 UU MK dimaksud, Mahkamah memahami semangat para Pemohon yang menginginkan agar Pasal 19 UU MK dilaksanakan oleh lembaga negara yang berwenang dalam pemilihan hakim konstitusi. Namun demikian, dalil para Pemohon mengenai permasalahan berupa tidak atau belum dilaksanakannya ketentuan Pasal 19 UU MK tidak dapat menjadi alasan untuk menyatakan Pasal 19 UU MK bertentangan dengan UUD 1945, karena hal tersebut merupakan suatu penilaian terhadap implementasi suatu norma Undang-Undang, bukan masalah konstitusionalitas. Dengan pertimbangan demikian, Mahkamah berpendapat dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujar Fadlil.
Sementara itu, permohonan pengujian Perpu MK yang diajukan Pemohon dinyatakan ne bis in idem oleh Mahkamah. Sebab, Perpu MK Tahun 2013 telah menjadi UU MK sehingga objek permohonan telah tidak ada. (Yusti Nurul Agustin/mh)