Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, sekaligus Plt. Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham Mualimin Abdi selaku perwakilan pemerintah menyatakan Pasal 16 dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial sudah tepat.
Menurutnya, UU yang diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 18 huruf a, b, dan c Undang-Undang Dasar 1945. “Sesuai ketentuan tersebut, presiden dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada kepala daerah atau pejabat lain sesuai kebijakan presiden,” ujar Mualimin di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Kamis (3/4).
Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK, Hamdan Zoelva tersebut, Mualimin menjelaskan, dalam UUD 1945 presiden memiliki kewenangan menetapkan kewenangan darurat pabila terdapat ancaman terhadap keselamatan warga negara dan keutuhan wilayah. Selanjutnya sesuai ketentuan konstitusi pula, presiden dapat menyerahkan kewenangan tersebut kepada kepala daerah seperti yang tertuang dalam Pasal 16 dan Pasal 26 UU Penanganan Konflik sosial.
Lebih lanjut, pihaknya menilai kebijakan Pemerintah dan DPR yang tertuang dalam UU tersebut dilakukan untuk menghindari kerugian warga negara karena pemerintah daerah lebih mengetahui keadaan real di daerahnya daripada pemerintah pusat atau presiden. Apalagi, sambungnya, Indonesia merupakan salah satu negara rawan konflik baik horizontal maupun vertikal yang tidak dapat diprediksi kapan dan di mana konflik akan terjadi.
“Selain itu, UU a quo yang intinya memberikan kewenangan pada bupati/walikota untuk menetapkan status konflik di wilayahnya setelah kesepakatan DPRD tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi,” tandas Mualimin.
Sebelumnya, sejumlah LSM, yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta Wakil Direktur Human Rights Working Group (HRWG), M. Choirul Anam, S.H., dan Dosen Universitas Pertahanan Indonesia dan Direktur Program Ridep Institute, Anton Aliabbas, M.Si yang diwakili sejumlah kuasa hukum memohonkan uji materi UU Penanganan Konflik Sosial dengan perkara nomor 8/PUU-XII/2014. Pemohon menguji dua pasal dalam UU a quo, yakni Pasal 16 dan Pasal 26. Kedua pasal tersebut berbunyi:
Pasal 16
Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) ditetapkan oleh bupati/wali kota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 26
Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota dapat melakukan:
a. pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk sementara waktu;
b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu;
c. penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk sementara waktu; dan
d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara waktu.
Alasan pengujian menurut pemohon adalah tidak seharusnya kepala daerah dapat menetapkan status keadaan konflik. Konstitusi, imbuhnya telah mengatur status keadaan darurat hanya dapat ditetapkan oleh Pemerintah, dalam hal ini adalah Presiden. Oleh karena itu, penetapan status keadaan konflik sosial pun seharusnya ditetapkan secara resmi oleh Presiden. Pasalnya, status keadaan konflik sosial memiliki kualifikasi yang sama dengan status keadaan darurat atau bahaya menurut ketentuan UUD 1945. (Lulu Hanifah/mh)