Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Pemohon pengujian Undang-Undang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pileg) yang dimohonkan oleh Perusahaan penyedia jasa hitung cepat (quick count) Pemilu yang tergabung dalam Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia. “Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo. Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Permohonan para pemohon beralasan menurut hukum,” ujar Hamdan Zoelva membacakan kesimpulan Putusan Perkara 24/PUU-XII/2014, Kamis (3/4/2014).
Pasal 247 UU Pileg menyatakan, partisipasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi Pemilu, pendidikan Politik bagi pemilih, survei atau jajak pendapat tentang Pemilu, serta penghitungan cepat hasil Pemilu wajib mengikuti ketentuan yang diatur KPU. Selanjutnya, pengumuman hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu dilarang dilakukan pada masa tenang. Pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 (dua) jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat. Pelanggaran terhadap ketentuan ini merupakan tindak pidana Pemilu. Adapun Pasal 291 UU dan 317 ayat (1) dan ayat (2) yang diujikan juga mengancam hukuman pidana kurungan/penjara dan denda.
Mahkamah berpendapat, pasal yang diujikan oleh para Pemohon yakni Pasal 247 ayat (2), ayat (5), ayat (6) serta Pasal 291 dan Pasal 317 ayat (1) dan ayat (2) UU Pileg mempermasalahkan larangan pengumuman hasil survei atau jajak pendapat pada masa tenang, pengumuman hasil penghitungan cepat beberapa waktu sesudah pemungutan suara dan pemberlakuan tindak pidana Pemilu dengan ancaman tertentu terhadap pelanggaran atas ketentuan tersebut. Secara tidak langsung, pasal-pasal tersebut meskipun tidak persis sama redaksinya dengan Pasal 245 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 282 dan 307 Undang-Undang nomor 10/2008 (UU Pemilu yang lalu), pernah diputus oleh Mahkamah pada Maret 2009. Terhadap ketentuan dalam Pasal 245 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 282 dan 307 UU 10/2008, Mahkamah dalam Putusan nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009, telah menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, yakni pertimbangan Putusan Nomor 9/PUU-VII/2009, tanggal 30 Maret 2009 tersebut mutatis muntandis berlaku pula terhadap permohonan ini. “Selain pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah perlu menegaskan bahwa objektivitas lembaga yang melakukan survei dan penghitungan cepat (quick count) haruslah independen dan tidak dimaksudkan untuk menguntungkan atau memihak salah satu peserta Pemilu. Sehingga lembaga survei yang yang mengumumkan hasil survei dan penghitungan cepat (quick count) harus tetap bertanggung jawab baik seacara ilmiah maupun secara hukum,” ucap Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati. (Panji Erawan/mh)