Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK) Janedjri M. Gaffar mengisi sesi terakhir Diklat Pancasila dan Konstitusi bagi Pemuda dan Mahasiswa Provinsi Kepulauan Riau, Rabu (2/4) malam di Cisarua, Bogor. Materi yang disajikan berjudul “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI”.
Pada pertemuan tersebut, Janedjri menerangkan proses perubahan sistem ketatanegaraan yang terjadi di Indonesia. Dijelaskan Janedjri, perubahan sistem tersebut terjadi pada saat amandemen atau perubahan UUD 1945 oleh MPR pada 1999 sampai 2002. Menurut Janedjri, amandemen UUD 1945 tersebut jangan diartikan berlangsung sebanyak empat kali, namun dalam empat tahap.
Amandemen UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan reformasi 1998, yang dimotori para mahasiswa. Karena sebelum perubahan UUD 1945, banyak pasal-pasal UUD 1945 yang terlalu luwes sehingga multitafsir. Misalnya, masa jabatan presiden yang tidak dibatasi selama lima tahun dalam satu periode.
Selanjutnya, muncul gagasan perlunya lembaga MK dihadirkan dalam sistem ketatanegaraan. MK lahir pada amandemen ketiga UUD 1945. Salah satunya terjadi perubahan dalam kedudukan lembaga-lembaga negara.
“Jika sebelum perubahan UUD 1945, struktur negara kita mengenal sistem vertikal hierarkis, bahwa kekuasaan tertinggi ada pada MPR. Namun setelah perubahan UUD 1945, berubah bentuk menjadi horizontal fungsional, yang mengartikan bahwa seluruh lembaga negara mempunyai tingkatan yang sama, tidak ada lagi lembaga tertinggi negara,” ucap Janedjri.
“Yang membedakan antara lembaga-lembaga negara adalah kewenangannya,” tambah Janedjri kepada para peserta.
Berdasarkan landasan teoritis, ungkap Janedjri, MK dibentuk dengan beberapa teori tentang kedaulatan. Misalnya, ada Teori Kedaulatan Tuhan, Teori Kedaulatan Raja, termasuk juga Teori Kedaulatan Rakyat. Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan demikian, negara kita berdasarkan pada teori kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.
“Rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di negeri ini. Selebihnya, negara kita juga menganut paham kedaulatan hukum. Dengan demikian, kedaulatan rakyat kita kenal dengan demokrasi, sedangkan kedaulatan hukum kita sebut nomokrasi. MK lah yang akan mengawal dengan kedaulatan hukum,” ujar Janedjri.
Namun, Janedjri mengatakan bahwa demokrasi bukan segala-galanya, demokrasi juga memiliki kelemahan. Kelemahan demokrasi, menurut Janedjri, hanya mendasarkan pada pendekatan kuantitatif. Siapa yang mendapat suara yang terbanyak, maka dialah yang akan menang. Yang sering terlupakan, kadangkala keadilan terdapat pada di segelintir kalangan minoritas masyarakat kita. Itulah sebabnya demokrasi harus diimbangi dengan nomokrasi.(Nano Tresna Arfana/mh)