Hilman Hidayat, seorang karyawan kontrak yang baru saja diputus hubungan kerjanya oleh perusahaan ban di Citeureup, Bogor, memberikan kesaksian untuk sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang dipimpin Ketua MK Hamdan Zoelva.
Dalam sidang perkara nomor 7/PUU-XII/2014 tersebut, Hilman mengungkapkan telah bekerja di PT. Banteng Pratama Rubber selama tiga tahun setelah dikontrak selama enam bulan berturut-turut selama empat kali dan dikontrak selama setahun ketika kontrak terakhir. Namun, kontraknya diputus pada tahun ketiga lantaran ia berunjuk rasa menuntut haknya untuk menjadi pekerja tetap dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
“Kita di-PHK karena melakukan aksi menuntut hak kami untuk menjadi pegawai tetap. Sebanyak 170 orang yang melakukan aksi. Semua akhirnya diperlakukan sama seperti saya (di-PHK),” ujar Hilman di ruang sidang pleno Gedung MK, Jakarta, Rabu (2/4).
Hilman pun menyatakan serikat pekerja tempatnya bernaung yakni Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) telah beberapa kali mengajukan surat kepada Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi (Disnaker) Kabupaten Bogor tentang penetapan status hubungan kerja. Namun nota pemeriksaan yang dikeluarkan Disnaker belum ditanggapi oleh perusahaan.
Senada dengan Hilman, Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (DPC PPMI) Kabupaten Karawang Ahmad Zahruddin mengungkapkan pihaknya mendapat pengaduan dari sejumlah karyawan PT BYC Indonesia di daerah Karawang. Setelah beberapa kali membuat surat pada Disnaker Karawang tentang penetapan status hubungan kerja, surat dibalas yang isinya menyatakan pihaknya telah melakukan pemeriksaan ketenagakerjaan di PT BYC Indonesia dengan temuan yang dituangkan dalam nota pemeriksaan.
“Sehubungan dengan laporan terkait status hubungan kerja, Disnaker telah mengeluarkan nota pemeriksaan bahwa perusahaan telah menggunakan jasa outsourcing yang dtempatkan pada bagian pemintalan benang, padahal bagian tersebut merupakan core business,” ujar Ahmad.
Padahal, menurut Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, apabila syarat tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara buruh dan perusahaan penyedia jasa buruh beralih menjadi hubungan kerja antara buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. Dengan kata lain, status pekerja outsourcing berubah menjadi karyawan perusahaan.
Sebelumnya, FISBI memohonkan judicial review UU Ketenagakerjaan ke MK. FISBI yang diwakili oleh ketuanya M. Komarudin, menilai adanya ketidakpastian hukum dalam frasa ‘demi hukum’ yang tertuang dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Sehingga, dalam tuntutan atau petitum-nya pemohon meminta MK menyatakan frasa ‘demi hukum’ bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘meniadakan hak pekerja/buruh untuk meminta pelaksanaan nota pegawai pengawas ketenagakerjaan pada instasi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan ke pengadilan negeri melalui pengadilan hubungan industrial setempat apabila perusahaan pemberi pekerjaan nyata-nyata tidak mengubah status pekerja waktu tertentu menjadi waktu tidak tertentu’. (Lulu Hanifah/mh)