Terdakwa kasus korupsi bioremediasi fiktif PT. Chevron Pacific Indonesia, Bachtiar Abdul Fatah perbaiki permohonan pengujian ketentuan tentang penyidikan, proses penahanan, dan pemeriksaan perkara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Poin-poin perbaikan disampaikan langsung oleh Maqdir Ismail selaku kuasa hukum Pemohon pada sidang yang digelar MK, Selasa (1/4).
Sesuai saran hakim dalam sidang pendahuluan, Pemohon kembali menegaskan ketentuan tersebut telah menghilangkan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi pemohon selaku warga negara Indonesia. Selain itu, Pemohon pun yakin memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan ini.
“Sebagai warga negara Indonesia, Pemohon memiliki hak konstitusional atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Hak konstitusional Pemohon atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28D ayat (1), Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut telah dirugikan dengan berlakunya sejumlah pasal dan KUHAP yang diuji melalui permohonan ini,” ujar Maqdir.
Kerugian hak konstitusional Pemohon pun dirasakan sangat spesifik. Sebab, Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1) Pasal 77 huruf a, Pasal 156 ayat (2) KUHAP dianggap telah diberlakukan dalam proses pemidanaan kepada Pemohon yang telah ditetapkan sebagai tersangka, penangkapan, dan penahanan Pemohon dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut. Sedangkan, Pasal 77 huruf a UU yang sama diberlakukan kepada Pemohon dalam perkara praperadilan.
“Jelas terhadap hubungan sebab-akibat antara kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya pasal-pasal dalam KUHAP yang diuji dalam permohonan ini. Karena pemberlakuan pasal-pasal yang diuji dalam permohonan ini telah menyebabkan hak konstitusional Pemohon dirugikan atas pengakuan, jaminan perlindungan, kepastian hukum yang adil, dan hak konstitusional atas due process of law sebagaimana diberikan oleh Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945,” jelas Maqdir lagi.
Maqdir pun meminta Mahkamah untuk menyatakan frasa “melakukan tindak pidana” dan frasa “dalam keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa dan seterusnya” bertentangan dengan UUD 1945. Dengan begitu, Pemohon pun meminta agar Pasal 21 ayat (1) KUHAP dimaknai menjadi perintah penahanan atau penahanan kelanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras berdasarkan bukti yang cukup akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana.
“Majelis Hakim Yang Mulia bahwa dengan mengacu kepada materi Pasal 77 huruf a KUHAP sesuai dengan prinsip due process of law yang dijamin oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945, maka materi muatan Pasal 77 huruf a harus juga memuat upaya paksa lainnya, sehingga Pasal 77 huruf a KUHAP harus dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup sah atau tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, dan seterusnya,” tukas Maqdir sembari membacakan permintaaan (petitum) permohonan lainnya. (Yusti Nurul Agustin/mh)