Calon Anggota Legislatif dari Provinsi Papua mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang aturan pemberian suara melalui pencoblosan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pileg). Permohonan dengan Nomor 31/PUU-XII/2014 ini dimohonkan oleh Isman Ismail Asso.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan cara pemberian suara hanya dengan cara mencoblos seperti tercantum dalam Pasal 154 UU Pileg bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Pasal 154 UU Pileg menyebutkan “Pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara”. Dalam praktik Pemilu di Indonesia, Pemohon menjelaskan, khususnya di beberapa kabupaten di Wilayah Pegunungan Tengah Papua, pemberian suara pada Pemilu tidak dilakukan dengan pencoblosan/pencontrengan melainkan dengan sistem ikat suara atau aklamasi atau kesepakatan yang dikenal dengan nama sistem noken.
Padahal, lanjut Pemohon, dalam sejumlah perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah di Papua, MK dalam putusannya telah mengakui pemberian suara dengan sistem noken sebagai praktik yang didasarkan adat istiadat setempat yang dijamin oleh UUD 1945. “Hal ini menjadi pro kontra di Provinsi Papua berkaitan dengan pemberian suara pada pemilihan umum. Sah atau tidaknya sistem noken untuk pemberian suara pemilihan umum legislatif nanti,” ungkap Pemohon.
Hal ini menjadi masalah di masyarakat karena ketentuan formal dalam Pasal 154 UU Pileg dan Peraturan Teknis Komisi Pemilihan Umum secara tegas menyatakan pemberian suara pada pemilihan umum legislatif dilakukan dengan cara mencoblos sehingga KPU Provinsi Papua menolak untuk menerima pemberian suara dengan sistem noken pada Pemilu legislatif yang akan datang. Menurut Pemohon, pembuat Undang-Undang dan penyelenggara Pemilu tidak boleh melanggar pengakuan dan perlindungan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sebagaimana yang telah dijamin dalam Pasal 18B UUD 1945. Untuk itulah, Pemohon meminta kepada MK agar pemberlakuan frasa “mencoblos” pada Pasal 154 UU Pileg konstitusional bersyarat (conditionally constitusional).
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan Pemohon, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Muhammad Alim memberikan saran perbaikan. Alim menyarankan Pemohon untuk memperbaiki petitum permohonan. Seharusnya Pemohon tidak memisahkan petitum bertentangan dengan UUD 1945 dan konstitusional bersyarat.”Dan di dalam pokok permohonan menyebutkan putusan MK mengenai sistem noken dalam Pemilukada. Barangkali dimasukkan untuk dipergunakan sebagai perbandingan. Jika di Pemilukada boleh, kenapa tidak boleh pada pileg atau pilpres,” ujar Alim. (Lulu Anjarsari/mh)