Pemerintah menyatakan ketentuan penetapan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jamsos Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, R. Riyanto Simbolon pada sidang Pengujian UU Ketenagakerjaan, Kamis (27/3).
Menurut Pemerintah, seperti yang disampaikan Simbolon, dalil Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan telah menimbulkan tidak adanya kepastian hukum merupakan pendapat yang keliru. Pemerintah memastikan bila frasa “dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi” dihilangkan justru akan menimbulkan ketidakpastian dan ketidakseimbangan antara kepentingan pekerja buruh dan pengusaha.
Pemerintah beralasan, Pasal 88 UU Ketenagakerjaan mengatur mengenai pernyataan umum atau general statement mengenai hak setiap pekerja buruh untuk memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak adalah jumlah penerimaan pekerja buruh dari hasil pekerjaannya yang mampu memenuhi kebutuhan hidup beserta keluarganya secara wajar.
Salah satu kebijakan pengupahan dari pemerintah adalah kebijakan mengenai upah minimum seperti diatur oleh Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut.
Pasal 88
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memerhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi
Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan penghidupan yang layak dan memberikan perlindungan kepada pekerja buruh. Dalam menetapkan upah minimum, pemerintah diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. Artinya, setiap penetapan upah minimum harus disesuaikan dengan tahapan pencapaian yang diperbandingkan antara upah minimum dengan kebutuhan hidup layak. Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak.
Terlebih, kebutuhan hidup layak pada umumnya tidak bisa dilakukan serta-merta dan sekaligus. Akan tetapi, perlu diperhatikan secara bertahap sesuai peningkatan kebutuhan hidup minimum yang sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan dunia usaha. Dengan demikian, bila frasa yang diminta Pemohon dihapuskan maka akan timbul ketidakpastian antara kepentingan pengusaha dan pekerja.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan kedudukan dewan pengupahan dalam pelaksanaannya hanya sebatas kelengkapan saja sehingga rekomendasi yang diberikan sering kali tidak diperhatikan bahkan diabaikan oleh gubernur. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Pemerintah menyatakan dalam menerapkan upah minimum provinsi, gubernur pasti memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan. Sebab, komposisi keanggotaan dewan pengupahan telah mencakup seluruh pemangku kebijakan (stakeholder), yaitu unsur pengusaha, unsur serikat pekerja, serikat buruh, unsur pemerintah, unsur perguruan tinggi, dan pakar. “Keputusan yang diambil Dengan Pengupahan pasti telah mempertimbangkan berbagai kepentingan,” ujar Simbolon.
Merasa dalil Pemohon dapat menimbulkan kegaduhan dan kekacauan dalam penetapan upah minimum, Pemerintah memintah MK untuk menolak seluruh permohonan Pemohon. “Menurut Pemerintah apabila permohonan Pemohon tersebut dikabulkan dapat menimbulkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, dapat menimbulkan kegaduhan, kekacauan dalam penetapan upah minimum karena daerah yang satu dengan daerah yang lain terdapat disparitas atau perbedaan. Kedua, tidak adanya keseimbangan antara pekerja buruh dengan pengusaha dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup yang layak bagi kemanusiaan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi,” jelas Simbolon sembari mengakhiri keterangannya. (Yusti Nurul Agustin/mh)