Pemohon Pengujian Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) yang juga terdakwa kasus bioremediasi fiktif PT Chevron, Bachtiar Abdul Fatah perbaiki permohonannya. Poin-poin perbaikan disampaikan oleh Kuasa Hukum Pemohon, Maqdir Ismail pada sidang yang digelar Rabu (26/3). Salah satu perbaikan yang dilakukan oleh Pemohon yaitu penambahan batu uji.
Batu uji yang ditambahkan oleh Pemohon, yaitu Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 yang mengatur mengenai hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi manusia. Selain itu, Pemohon juga memperbaiki petitum permohonan sesuai saran panel hakim pada sidang pendahuluan. Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 59 ayat (4) juncto Pasal 102 UU PLH tidak konstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal a quo tidak berlaku pada pengelola limbah B3 yang belum memiliki izin mengelola limbah B3 sendiri, namun limbah B3 tersebut berdasarkan alasan teknis dan perizinan tidak dapat dikelola oleh pihak lain sebagaimana dimaksuddalam Pasal 59 ayat (3) UU PLH.
“Menyatakan kata ‘dapat’ pada Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang PPLH bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Keempat, menyatakan frasa tindak pidana lingkungan hidup dalam Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang PPLH. Tidak konstitusional bersyarat atau (conditionally unconstitutional) sepanjang tidak dimaknai termasuk tindak pidana lain yang bersumber dari pelanggaran undang-undang ini,” ujar Maqdir membacakan petitum permohonan lainnya.
Dalam kesempatan ini, Muhammad Alim selaku ketua panel hakim juga mengesahkan delapan bukti tertulis yang disampaikan Pemohon. Alim pun menyampaikan akan membawa hasil persidangan kali ini ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) dan meminta Pemohon menunggu panggilan selanjutnya.
Sebelumnya, Pemohon menyampaikan telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan keberadaan Pasal 59 ayat (4), Pasal 95 ayat (1), dan Pasal 102 UU PLH. Pasal-pasal tersebut menurut Pemohon memungkikan instansi yang berwenang tidak/belum memberikan izin kepada pihak penghasil limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) untuk mengelola limbah dengan alasan-alasan tertentu. Pasal 59 ayat (4) UU PLH berbunyi, “Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.” Pasal 59 ayat (4) tersebut merupakan salah satu pasal yang menjerat Bachtiar yang didakwa tidak memiliki izin untuk melakukan bioremediasi.
Ketentuan dalam Pasal 59 ayat (4) UU PLH juga dianggap bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 59 ayat (1) UU yang sama. Sebab, Pasal 59 ayat (1) mewajibkan setiap orang yang menghasilkan limbah B3 harus melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya. Dengan kata lain, ada atau tidaknya izin, penghasil limbah harus mengolah limbah B3 yang dihasilkannya bila tidak ingin dikenai sanksi pidana.
“Keberadaan kedua norma yang bersifat kontradiktif tersebut telah menciptakan situasi di mana penghasil limbah B3 yang belum memiliki izin pengolahan izin B3 misalnya dikarenakan izin tersebut sedang diurus perpanjangannya di instansi terkait, terpaksa tetap mengelola limbah B3 tersebut sebab ada ancaman pidana berdasar Pasal 53 ayat (1) juncto Pasal 103 UU PLH. Namun di sisi lain karena belum memiliki izin mengolah limbah B3 maka penghasil limbah B3 tersebut dianggap telah melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (4) UU PLH yang mensyaratkan adanya izin untuk mengolah limbah B3,” jelas Maqdir pada sidang pendahuluan yang digelar Kamis (13/3). (Yusti Nurul Agustin/mh)