Demokrasi dengan kebebasan dan otonomi individu tanpa pembatasan dapat melahirkan tirani mayoritas. Hal demikian tentu tidak dikehendaki karena akan bertentangan dengan harkat dan martabat manusia.
“Kebebasan tanpa batas dapat melahirkan kezaliman baru,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva saat memberikan orasi ilmiah pada wisuda pascasarjana, sarjana, diploma Universitas Islam As-Syafi’iyah, Rabu (26/3) siang di Jakarta.
Dikatakan Hamdan, dalam kondisi yang demikian, pembatasan atas kebebasan berdasarkan konstitusi menjadi mutlak diperlukan. Dari sinilah lahir ajaran demokrasi konstitusional, yaitu demokrasi yang dibatasi oleh norma hukum dan konstitusi.
“Pembatasan hak asasi manusia hanya dapat dilakukan dengan undang-undang, semata-mata untuk melindungi dan menghormati hak kebebasan manusia. Sehingga berkembang paham negara demokrasi berdasarkan hukum atau biasa dikenal dengan istilah negara nomokrasi,” ungkap Hamdan kepada para hadirin, yang di antaranya terlihat Tutty Alawiyah selaku Rektor Universitas As-Syafi’iyah.
Hamdan melanjutkan, UUD 1945 menganut prinsip negara demokrasi konstitusional atau negara demokrasi berdasarkan konstitusi. Hal itu tercantum pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 bahwa “maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang terbentuk dalam susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”.
Selain itu dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Frasa “Kedaulatan berada di tangan rakyat” menunjukkan anutan terhadap prinsip demokrasi, sedangkan frasa “dilaksanakan menurut UUD” menunjukkan bahwa Indonesia menganut prinsip negara hukum dan konstitusi. Lebih jelas lagi, dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
“Dengan demikian, jelas bahwa konstitusi kita mengamanatkan negara harus dijalankan atas prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat berdasarkan ketentuan atau norma konstitusi atau norma hukum,” tegas Hamdan.
Dijelaskan Hamdan, bagi negara yang mengklaim diri sebagai negara hukum, maka konstitusi atau UUD senantiasa diposisikan sebagai hukum yang tertinggi. Berdasarkan doktrin nomokrasi, hukum harus dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma yang berpuncak pada konstitusi sebagai hukum tertinggi.
“Oleh karena itu, negara demokrasi konstitusional menghendaki dan meniscayakan supremasi konstitusi,” imbuh Hamdan.
Kedudukan konstitusi sebagai hukum tertinggi diperoleh karena sifat demokratis konstitusi itu sendiri. Bahwa konstitusi merupakan perjanjian atau kesepakatan dasar seluruh rakyat suatu bangsa. “Dalam konstitusi itulah nilai-nilai demokrasi dijamin dan dilindungi. Oleh karenanya terdapat hubungan resiprokal yang nyata antara demokrasi dan konstitusi,” kata Hamdan.
Namun demikian, lanjut Hamdan, dalam praktiknya upaya mewujudkan demokrasi konstitusional bukanlah pekerjaan sekali jadi, melainkan merupakan proses dan perjuangan panjang, tidak sesederhana ketika diucapkan atau diwacanakan.
“Terbukti, kesulitan yang dihadapi banyak negara adalah negara telah memiliki konstitusi, tetapi tidak semua sukses menjadi negara demokratis. Kesulitan umum yang dihadapi ialah mengartikulasi konstitusi dari norma abstrak ke tatanan praktis,” tandas Hamdan. (Nano Tresna Arfana/mh)