Kecintaan saya terhadap Mahkamah Konstitusi akan saya manifestasikan pada bentuk yang lain, yaitu setia menjadi kritikus MK.
Itulah kalimat yang dituturkan Harjono yang meletakkan kembali amanah yang diembannya sebagai hakim konstitusi pada 24 Maret 2014. Pria kelahiran Nganjuk, Jawa Timur ini memasuki masa purnabakti setelah sekitar sepuluh tahun atau dua periode menjadi hakim konstitusi.
Perannya sebagai salah satu tokoh yang mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan hakim konstitusi pertama, menjadikan Harjono sebagai salah satu pelaku sejarah. Pengalaman panjang dan keluasan ilmu yang dimilikinya menorehkan kenangan kuat bagi para hakim konstitusi lain, termasuk Ketua MK Hamdan Zoelva.
“Kami keluarga besar MK dengan berat hati harus melepas Pak Harjono. Beliau adalah hakim paling senior di MK, menduduki dua jabatan penuh selama 10 tahun sejak berdirinya MK. Pak Har dengan gaya blak-blakan membuat kita diskusi panas tapi tetap bijak dan santun. Itulah pengalaman luar biasa di rapat permusyawaratan hakim setiap pagi,” tutur Hamdan dalam acara Pisah Sambut Hakim Konstitusi Harjono dan Hakim Konstitusi Aswanto-Wahiduddin Adams di aula lantai 1 Gedung MK, Jakarta,Selasa (26/3).
Hamdan mengaku mengenal Harjono sejak 15 tahun lalu, saat menangani amandemen UUD 1945 pada tahun 1999-2002. Kala itu, sumbangsih paling fundamental dari Harjono adalah Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang mulanya menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,” berubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
Rumusan tersebut merupakan peletak dasar paham konstitusionalisme di Indonesia yang–salah satu cirinya–membatasi kewenangan lembaga negara karena segala kewenangan telah terdistribusi dalam fungsi-fungsi lembaga negara sekaligus menghapus superioritas MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Hal itu menciptakan sistem checks and balances antarlembaga negara.
Tak sampai di situ, sesama kolega hakim menilai anak pertama dari sembilan bersaudara ini sosok yang mempunyai daya analisis tinggi, liar, dan nakal dalam berfikir. Ia pun dikenal sebagai kamus hidup karena luasnya ilmu dan pengetahuan yang ia miliki. Terlepas dari itu, para kolega kompak menyebut Harjono ialah sosok yang sederhana dan bersahaja.
“Kami mengucapkan selamat kepada Pak Har yang telah menyelesaikan masa jabatan dengan khusnul khotimah. Pengabdian sebagai hakim sudah selesai, tapi saya yakin pengabdian pada bangsa dan negara tidak selesai,” ungkap Hamdan.
Manis dan Getir
“Waktu memang berjalan, saya sudah memulai dan harus mengakhiri karena waktu. Ada sesuatu yang diamanahkan pada saya, dan ada akhirnya amanah itu diletakkan kembali karena itu yang diperjanjikan pada saya, amanat selama 5 tahun dalam dua periode,” ujar Harjono saat memberikan sambutannya.
Ia menuturkan selama dua periode masa jabatannya sebagai penjaga konstitusi, Harjono mengalami manis dan getir. Pada periode pertama MK melaksanakan tugasnya, banyak sanjungan, apresiasi dan pujian, tidak saja di dalam negeri tapi juga luar negeri. Namun pada periode kedua, kepercayaan masyarakat pada MK runtuh, muruahnya pudar seiring ditangkapnya Ketua MK kala itu, Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi lantaran kasus dugaan suap sejumlah sengketa Pemilukada.
Dalam kesempatan tersebut, Harjono juga berpesan pada sembilan penjaga konstitusi untuk tetap kuat menghadapi tantangan ke depan dengan menjaga kredibilitas mereka. Tantangan utama MK, imbuh Harjono berasal dari kekuasaan yang kuat. Lembaga peradilan adalah lembaga yang sangat ringkih, tapi seringkih apapun dalam democracy state, lembaga peradilan harus ada. Jadi taruhan satu-satunya adalah kredibilitas hakim-hakimnya. Selama ia punya kredibilitas, maka akan menjadi independen.
“Tentu ini bukan sesuatu yang menjadi persoalan besar bagi para hakim konstitusi karena menjadi hakim harus bersiap untuk bersendiri. Sehingga ia dapat menjalankan fungsinya dengan baik,” tutupnya. (Lulu Hanifah/mh)