Sumiarto yang mengklaim dalam keadaan sakit-sakitan mengajukan permohonan judicial review aturan pemilihan umum bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang mengharuskan dilaksanakan secara “langsung”. Aturan yang diujikan tersebut, yaitu UU Pileg, UU Pilpres, dan UU Penyelenggara Pemilu yang dianggap tidak mengalami penyesuaian berdasarkan putusan MK terkait Pemilukada Bali yang membolehkan pemberian suara diwakilkan pada Pemilu karena keadaan sakit. Ketidaksesuaian tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi Pemohon pada Pemilu 2014.
Kuasa hukum Pemohon, Sunggul Hamonangan Sirait juga menyatakan dalam persidangan meminta ketegasan bahwa rezim pemilu dalam Pileg dan Pilpres berlangsung dengan asas luber dan jurdil. Di hadapan majelis hakim konstitusi, Sunggul mengatakan permohonan atau tuntutan (petitum) yang diajukan Pemohon diganti. Menurut Sanggul, petitum tersebut dari membatalkan Undang-Undang a quo menjadi meminta tafsir dari MK. “Kami juga mengubah dalam petitum-nya, di mana petitum sebelumnya yang menyatakan batal, telah kami ganti dengan MK memberikan tafsir terhadap Undang-Undang tersebut,” kata Sunggul di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa (25/03) siang.
Kuasa hukum Pemohon lainnya, Freddy Alex Damamik juga menyampaikan, Pemohon juga meminta menghapus beberapa pasal yang dijadikan batu uji, salah satunya adalah Undang-Undang Mahkamah Konstiutsi (UU MK) seperti yang terdapat dalam permohonan sebelumnya. Tidak hanya itu, Pemohon juga meminta kepada MK untuk memproses permohonananya dengan lebih cepat dikarenakan Pemilu akan segera berlangsung.
Seperti diketahui, Pemohon dalam permohonannya menilai asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil itu tidak bisa diwakilkan atau tidak bisa dikuasakan kepada orang lain dalam Pemilu, baik Pileg maupun Pilpres. Pemohon merasa asas tersebut melanggar hak konstitusinya untuk sewaktu-waktu memberikan kepercayaan atau kuasa kepada orang terdekatnya atau orang yang dia percaya untuk menyuarakan atau menyoblos partai tertentu atau caleg tertentu dalam Pilpres dan Pileg, serta Pemilukada yang akan datang.
Pemohon yang gampang sakit meminta MK untuk menyamaratakan putusan MK dalam Pemilukada Papua dan Bali dan kemungkinan sewaktu Pemilu itu diwakilkan oleh orang lain, baik itu saudara, keluarga, maupun kepala suku dalam menentukan pilihannya, karena memang Pemohon menyadari tidak ada larangan yang tegas dalam norma hukum Indonesia mengenai perwakilan tersebut.
Dalam tuntutan perkara yang teregistrasi nomor 17/PUU-XII/2014, Pemohon meminta Pasal 2 UU Pilpres, Pasal 1 angka 1 UU Penyelenggara Pemilu, dan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 UU Pileg tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang tidak diartikan bahwa yang dimaksud “langsung” dalam pasal-pasal tersebut dapat menerima pemilih yang memilih lebih dari satu kali ataupun pemilih yang diwakilkan sebagaimana Putusan Mahkamah Nomor 62/PHPU.D-XI/2013. Atau Pemohon meminta MK memberikan tafsir yuridis (konstitutif) terhadap pasal-pasal di dalam ketiga UU tersebut sehingga tidak bertentangan dengan Putusan Mahkamah Nomor 62/PHPU.D-XI/2013.
Pemohon juga meminta MK menyatakan pasal-pasal yang diujikan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya sepanjang tidak diartikan bahwa yang dimaksud “langsung” dalam pasal-pasal tersebut dapat menerima pemilih yang memilih lebih dari satu kali atau pemilih yang diwakilkan sebagaimana Putusan Mahkamah Nomor 62/PHPU.D-XI/2013. Selain itu, Pemohon juga meminta alternatif tuntutan, yaitu memohon Mahkamah memberikan tafsir yuridis (konstitutif) terhadap pasal-pasal tersebut sehingga tidak bertentangan dengan Putusan Mahkamah Nomor 62/PHPU.D-XI/2013. (Panji Erawan/mh)