Mahkamah Konstitusi dibentuk dalam sistem ketatanegaraan berdasarkan landasan yuridis dan empiris. Kehadiran Mahkamah Konstitusi tidak bisa dipisahkan oleh tujuan awal reformasi, yang salah satu tuntutannya yakni perubahan UUD 1945. Sebelumnya, diyakini bahwa sistem pemerintahan sebelum reformasi adalah penyebab permasalahan bangsa ini karena terlalu besarnya kekuasaan Presiden. Hal tersebut diungkapkan Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar, saat mengisi kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Palembang, Senin (25/3).
Dalam makalah yang berjudul “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI”, Janedjri memaparkan tentang proses perubahan sistem ketatanegaraan yang terjadi di Indonesia. Menurutnya, ketika perubahan UUD 1945 yang dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sejak tahun 1999 hingga 2002 muncul gagasan perlunya lembaga MK dihadirkan dalam sistem ketatanegaraan. “Jika sebelum perubahan struktur negara kita mengenal system vertikal hierarkis, yakni kekuasaan tertinggi ada pada MPR. Namun setelah perubahan UUD 1945 kemudian berubah bentuk menjadi horizontal fungsional, yang mengartikan bahwa seluruh lembaga negara mempunyai tingkatan yang sama, tidak ada lagi lembaga tertinggi negara,” tegasnya.
Berdasarkan landasan teoritis, lanjut Janedjri, MK dibentuk dengan beberapa paham tentang kedaulatan. Hal ini dapat dilihat secara khusus pada Pasal 1 ayat 2 UUD 1945, yang menyebutkan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menuru Undang-Undang Dasar”. Disini telah ditegaskan bahwa negara kita berdasarkan pada paham kedaulatan rakyat. “Rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di negeri ini. Untuk selebihnya, negara kita juga menganut paham kedaulatan hukum. Dengan demikian, kedaulatan rakyat kita kenal dengan demokrasi, sedangkan kedaulatan hukum kita sebut nomokrasi. MK-lah yang akan mengawal kedaulatan hukum,” imbuh Janedjri.
Namun demikian, Janedjri mengatakan bahwa demokrasi bukan segala-galanya, demokrasi juga memiliki kelemahan. “Kelemahan demokrasi hanya mendasarkan pada pendekatan kuantitatif. Siapa suara yang terbanyak, dia yang akan menang. Yang sering kita lupakan, kadangkala keadilan terdapat pada di segelintir kalangan minoritas masyarakat kita. Itulah sebabnya demokrasi harus diimbangin dengan nomokrasi,” jelasnya.
Di akhir materi yang disampaikan, Janedjri berpesan kepada para mahasiswa agar tetap terus mengawal demokrasi dan jangan dibiarkan demokrasi berjalan sendiri. “Bahwasanya menurut perintah konstitusi, untuk stabilitas jalannya demokrasi, lembaga peradilan sebagai pengawal kedaulatan hukum adalah lembaga yang harus dijaga, bukan diawasi. MK jangan dibiarkan jalan sendiri, dan semua pihak harus berperan untuk bersama-sama mengawasi,” tutupnya. (Dedy/mh)