Perusahaan penyedia jasa hitung cepat (quick count) Pemilu yang tergabung dalam Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia, yakni PT Indikator Politik Indonesia dan PT Pediman Global Utama, dan PT Indonesian Consultan Mandiri mengajukan pengujian UU Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pileg). Sidang perdana perkara ini digelar, Senin (24/3). Kuasa Hukum Pemohon, Andi Syafrani menyatakan ketentuan pengumuman hasil penghitungan cepat dalam UU Pileg saling bertentangan.
Syafrani mengatakan Pasal 247 ayat (2) yang mengatur larangan pengumuman hasil survei dilakukan pada masa tenang bertentangan dengan konstitusi. Sebab, lanjut Syafrani, survei opini publik sejatinya dilakukan untuk kepentingan warga negara dalam mendapatkan informasi yang seluas-luasnya. Sedangkan, Pasal 247 ayat (2) justru melarang hasil survei di masa tenang. “Menurut kami ini adalah sebuah tindakan yang sangat bertentangan dengan konstitusi, dalam hal ini terkait dengan hak untuk mendapatkan informasi yang dilindungi oleh konstitusi, Yang Mulia,” ujar Syafrani.
Pemohon juga beranggapan lembaga survei independen justru membantu pemerintah dalam menyukseskan pemilu. Salah satu cara lembaga survei membantu penyuksesan Pemilu yakni dengan melakukan survei opini publik berkaitan dengan demokrasi dan Pemilu kemudian bekerja sama dengan media mengumumkan hasilnya kepada publik.
Selain itu, larangan menyosialisasikan hasil survei di masa tenang juga dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28C UUD 1945 oleh Pemohon. Sebab, menurut ketentuan pasal tersebut setiap orang berhak untuk mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi dari seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan manusia.
Pemohon pada kesempatan ini juga menggugat ketentuan dalam Pasal 247 ayat (5) UU Pileg yang mengatur pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat Pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat dua jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian barat. Ketentuan tersebut menurut Pemohon telah menghilangkan aspek kecepatan sebagai salah satu tujuan quick count.
Ketentuan ini juga dianggap Pemohon tidak logis. Sebab, Indonesia memiliki tiga bagian waktu, yaitu Waktu Indonesia Barat, Waktu Indonesia Tengah, dan Waktu Indonesia Timur. Bila ketentuan tersebut menyatakan dua jam setelah Waktu Indonesia Barat, maka ada waktu empat jam untuk wilayah di bagian Waktu Indonesia Timur. “Dua jam setelah Waktu Indonesia Barat artinya sama dengan empat jam Waktu Indonesia Timur. Nah, empat jam ini adalah waktu yang cukup panjang, Yang Mulia. Menurut kami kalau ternyata di sana ditunda proses pengumuman quick count, bisa jadi di daerah timur sana itu proses penghitungan suara di TPS sudah selesai dan karenanya menurut kami ini menunda hak masyarakat, terutama bagian timur untuk mengetahui informasi hasil pemilihan umum mereka,” urai Syafrani.
Terkait dengan waktu pelaksanaan Pileg yang kian dekat, Pemohon meminta agar Mahkamah memutus perkara ini dengan waktu yang sesingkat-singkatnya. Kalaupun Mahkamah belum mengeluarkan putusan hingga masa tenang Pileg berjalan, Pemohon meminta agar Mahkamah mengeluarkan putusan sela yang menyatakan ketentuan-ketentuan tersebut tidak berlaku sampai adanya putusan akhir. (Yusti Nurul Agustin/mh)