“Hakim konstitusi sesuai UUD diusulkan oleh tiga lembaga negara. Tiga dari Mahkamah Agung, tiga dari Pemerintah dan tiga dari DPR. Ini menjadi hak eksklusif dari tiga lembaga negara ini,” jelas Peneliti Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono Soeroso menjawab pertanyaan seorang mahasiswa Fakultas Hukum (FH) Universitas Negeri Gorontalo yang berkunjung ke MK, Senin (24/3) pagi.
“Contohnya, putusan MK yang membatalkan UU No.4/2014 tentang pengesahan Perpu menjadi UU. Jadi, tidak boleh hak eksekutif untuk mengusulkan hakim konstitusi itu direduksi karena keberadaan panel ahli. Menurut Perpu harus dibentuk panel ahli, kemudian DPR dan MA setor nama ke panel ahli, nanti panel ahli yang menentukan siapa saja yang menjadi hakim konstitusi,” papar Fajar kepada 192 mahasiswa.
Dikatakan Fajar, mekanisme semacam itu bertentangan dengan konstitusi, karena mereduksi kewenangan tiga lembaga negara ini untuk mengusulkan hakim konstitusi. “Jadi silakan saja ditentukan caranya, sepanjang dia internal. Misalnya seperti dipraktikkan DPR kemarin, DPR membentuk tim pakar tapi sifatnya internal untuk menyaring, membantu DPR mendapatkan calon hakim yang terbaik. Tidak ada reduksi di situ,” urai Fajar.
Namun kalau melalui panel ahli, lanjut Fajar, usulan hakim dari DPR, MA maupun Pemerintah, nanti dipilih sesuai selera panel ahli itu, karena hal itu akan menciptakan keseragaman.
“Biarkan saja DPR misalnya mencari hakim konstitusi yang latar belakang ilmu hukumnya bermazhab positivisme. Nanti di MA mazhabnya progresif, di Pemerintah mazhabnya lain lagi. Justru itu yang penting, ada keragaman di Mahkamah Konstitusi. Jangan kemudian diseragamkan oleh panel ahli itu,” tegas Fajar.
Fajar melanjutkan, seperti dua calon hakim konstitusi baru yaitu Aswanto dan Wahiduddin yang diusulkan DPR, dipilih oleh tim pakar setelah sebelumnya diusulkan 4 nama. Akhirnya DPR yang menentukan dua nama calon hakim konstitusi tersebut. “Tidak ada reduksi di situ,” kata Fajar.
Pada pertemuan itu Fajar juga menjelaskan sejarah dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003, yang diawali dengan diadopsinya ide mahkamah konstitusi dalam amandemen konstitusi yang dilakukan MPR pada 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B UUD 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember.
Selain itu Fajar memaparkan kewenangan dan kewajiban MKRI yaitu menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UU 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sedangkan kewajiban MKRI adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. (Nano Tresna Arfana/mh)