Peradi selaku Pihak Terkait dalam Perkara Pengujian UU Advokat yang dimohonkan oleh sejumlah pengacara dari OC Kaligis and Associates menghadirkan saksi dan ahli pada sidang yang digelar, Kamis (20/3). Saksi Peradi mengungkapkan adanya tanda tangan palsu peserta PKPA yang dilaksanakan Pemohon.
Advokat dari Peradi, Shalih M Sitompul hadir dalam persidangan kali ini untuk memberikan kesaksiannya. Shalih mengatakan, Peradi telah memberikan izin atau membuat perjanjian bersama dengan Pihak OCK and Associates (Pemohon) dalam hal pelaksanaan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). Kerja sama tersebut berlangsung sejak 2009 sampai dengan 2013.
Namun, selama pelaksanaan pendidikan khusus profesi advokat terdapat satu masalah pada pelaksanaan PKPA di tahun 2013. Shalih mengungkapkan pada pelaksanaan PKPA tanggal 22 Maret 2013, Pemohon memberikan laporan pelaksanaan PKPA. Setelah diperiksa oleh staf sekretariat DPN Peradi terungkap adanya pemalsuan tanda tangan sebanyak 37 orang peserta PKPA, khususnya angkatan ke-9. Setelah diklarifikasi, Pihak OCK and Associates tetap menyatakan tanda tangan tersebut asli dan meminta DPN Peradi menerbitkan sertifikat bagi peserta PKPA, termasuk peserta PKPA angkatan ke-9.
Tidak percaya begitu saja, Peradi kembali mengundang pihak OCK and Associates. Pada akhirnya, pihak OCK and Associates mengakui bahwa tanda tangan peserta tersebut palsu sembari menyerahkan surat keterangan yang ditandatangani oleh Saudara Diki Wijaya yang menyatakan daftar hadir tersebut tidak ditandatangani oleh peserta PKPA. Diketahui kemudian, ternyata di kantor OCK and Associates tidak pernah dilaksanakan PKPA gelombang ke-9 melainkan dilaksanakan di Pabean Law Education Center Foundation. “Karena kami sudah yakin bahwa itu ada pemalsuan tanda tangan, maka tepatnya pada tanggal 27 Januari 2013 kami resmi melaporkan Saudara O.C. Kaligis dan Yenny Octarina sebagai mitra kami ke Polda Metro Jaya untuk dilakukan penyidikan adanya penggunaan tanda tangan palsu yang dilaporkan kepada DPM tadi. Hingga kini, Polda Metro Jaya sedang dan masih melakukan penyidikan tersebut,” ungkap Shalih.
Dalam persidangan kali ini, Peradi juga menghadirkan Dosen FH Universitas Islam Indonesia, Muhammad Arief Setiawan. Ia mengatakan pembatasan mengenai konstitusionalitas ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Advokat juga harus dikaitkan dengan Pasal 28 ayat (1), Pasal 3 huruf f, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 29, dan Pasal 30 UU Advokat. Menurut Arief, suatu organisasi profesi advokat yang disediakan atau diadakan melalui legislasi UU Advokat dimaksudkan untuk mengatur kehidupan profesi advokat yang bertujuan untuk memastikan para anggotanya patuh memelihara kehormatan profesi, bijaksana, jujur, dan bermartabat.
Arief juga mengatakan menurut sepengetahuannya, tidak ada tuntutan hak yang dipersoalkan oleh Pemohon yang tidak terpenuhi. Sebab, Peradi atau dalam hal ini komisi pendidikan yang bekerja sama dengan berbagai lembaga dan institusi pendidikan khusus profesi advokat, tidak ada satu pun yang menghalangi atau melarang Para Pemohon untuk mengikuti pendidikan advokat di lembaga advokat atau institusi tersebut.
Mengenai maksud organisasi advokat dalam Pasal 2 ayat (1) UU Advokat, Arief menjelaskan satu-satunya organisasi adokat adalah Peradi. Hal itu sesuai dengan Putusan MK No. 66/PUU-VIII/2010. “Dalam pertimbangan putusan tersebut antara lain menyatakan bahwa Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya Peradi sebagai organisasi advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat. Sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-VIII/2010 di halaman 342-nya juga dinyatakan bahwa Peradi sebagai satu-satunya wadah profesi advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri, yang juga melaksanakan fungsi negara,” tukas Arief. (Yusti Nurul Agustin/mh)