Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Tanpa didampingi kuasa hukum, Moh. Kisman Pangeran sebagai pemohon menilai Pasal 33 ayat (1) UU tersebut sumir dan mengada-ada.
Pasal 33 ayat (1) UU Jasa Konstruksi berbunyi:
Lembaga sebagaimana dimaksud pada Pasal 31 ayat (3) beranggotakan wakil-wakil dari:
a. asosiasi perusahaan jasa konstruksi;
b. asosiasi profesi jasa konstruksi.
Menurut Kisman, pasal tersebut tidak menjelaskan maksud dari Asosiasi Perusahaan Jasa Konstruksi dan Asosiasi Profesi Jasa Konstruksi. Selain itu tidak ada paparan tentang status hukum kedua jenis asosiasi tersebut yang menyebabkan keterwakilan keduanya dalam Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi sumir, kabur, mengada-ada, dan melanggar hak asasi manusia sehingga bertentangan dengan konstitusi.
“Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi diduga mengabaikan ketentuan UUD 1945 karena seluruh penyedia jasa dan tenaga ahli/terampil konstruksi di Indonesia diharuskan untuk menjadi anggota kedua jenis asosiasi tersebut,” ujar Kisman saat membacakan permohonannya di ruang sidang pleno Gedung MK, Jakarta, Kamis (20/3).
Lebih lanjut, pasal itu disinyalir menyebabkan timbulnya potensi kerugian bagi setiap penyedia jasa dan tenaga ahli/terampil konstruksi. Kerugian tersebut berbentuk tidak terbukanya akses untuk dapat berkiprah sebagai kelompok unsur Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi.
“Padahal sebetulnya Asosiasi Perusahaan Jasa Konstruksi dan Asosiasi Profesi Jasa Konstruksi tidak berhak mewakili penyedia Jasa dan Tenaga Ahli/terampil konstruksi sebagai unsur Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi karena penyedia Jasa dan Tenaga Ahli/terampil konstruksi tidak wajib menjadi anggota kedua jenis asosiasi tersebut,” imbuhnya.
Perbaiki Permohonan
Menanggapi permohonan Kisman, panel majelis hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Muhammad Alim dengan anggota Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi dan Patrialis Akbar menyarankan Pemohon memperbaiki, bahkan merombak permohonannya, termasuk frasa ‘patut diduga’ yang digunakan Pemohon. “Banyak hal yang perlu diperbaiki, bahkan dirombak. Di antaranya alasan permohonan pengujian, dan frasa ‘patut diduga’, itu tidak bisa digunakan. Permohonan di Mahkamah Konstitusi harus pasti,” ujar Muhammad Alim.
Sementara Patrialis Akbar menyarankan Pemohon untuk memperbaiki sistematika permohonan, mempertajam pokok permohonan, dan memperbaiki petitumnya. Untuk lebih menyempurnakan permohonannya, Ahmad Fadlil bahkan menyarankan Pemohon untuk menggunakan advokat.
“Di MK, permohonan dikabulkan atau tidak tergantung bagaimana anda meyakinkan hakim dan pembuat UU kalau UU yang sedang diujikan bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu sebaiknya saudara menggunakan advokat karena ini hal yang khas dan teknis,” ujarnya. (Lulu Hanifah/mh)