Ada saja yang menyalahkan dan mengomentari putusan pengadilan yang sudah menjadi hukum. Hanya di Indonesia sebuah putusan pengadilan tersebut dikomentari. Demikian dikatakan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (MK) Janedjri M. Gaffar kepada para peserta Rapat Kerja Teknis Asosiasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Seluruh Indonesia (ADEKSI), berlangsung di Hotel Mercure Jakarta, Rabu (19/03/2014).
Menurutnya, dalam konstitusi tidak ada satupun kata yang menyatakan pengadilan diawasi, melainkan dijaga. Janedjri mengatakan, dengan prinsip yang dinyatakan dalam konstitusi, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, maka menjadi tanggung jawab bersama seluruh masyarakat untuk menjaga independensi dan imparsialitas MK sebagai lembaga peradilan. Dikatakan olehnya, salah cara yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk menjaga MK adalah dengan tidak menggoda MK dengan cara apapun.
Lebih lanjut Janedjri mengungkapkan dirinya sedih ketika mengetahui ada saksi yang berani memberikan keterangan palsu dalam proses persidangan di MK, meski sudah disumpah. Dirinya mengaku semakin sedih ketika masyarakat pun ikut memberikan komentar atas kejadian-kejadian di MK karena percaya dengan komentar-komentar pengamat yang asal bicara. Dijelaskan olehnya, memang benar pernah ada satu saksi yang memberikan keterangan palsu, namun saksi itu hanya satu dari 60 saksi yang diperiksa dalam persidangan.
Selain itu, Janedjri mengatakan bahwa banyak pengamat yang mengatakan putusan MK dalam beberapa perkara melebihi apa yang dimohonkan atau ultra petita. Peraih gelar Doktor Ilmu Hukum dari Undip Semarang itu mengatakan bahwa justru MK di dunia lahir dari putusan ultra petita yang dikeluarkan Mahkamah Agung (MA) Amerika, dalam kasus Marbury vs Madison tahun 1803, yang kemudian diadopsi oleh Hans Kelsen ketika mengusulkan kepada parlemen Austria untuk membentuk MK di Austria pada 1920.
Menurutnya, demokrasi sebagai bentuk kedaulatan rakyat harus diimbangi oleh nomokrasi, prinsip kedaulatan hukum, oleh sebab itu MK dalam memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) tidak hanya mempertimbangkan perselisihan hasil perolehan suara, namun juga menilai apakah pelanggaran-pelanggaran yang mempengaruhi perolehan suara itu melanggar prinsip-prinsip yang yang terdapat dalam konstitusi, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (LUBER JURDIL).
Dalam kesempatan itu, Janedjri juga mengingatkan kepada peserta Rapat Kerja Teknis ADEKSI, yang merupakan anggota DPRD kota se-Indonesia, untuk tidak mempercayai siapapun yang mengaku-aku dari MK yang bisa mengatur perkara.
Sementara Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Muhammad yang turut hadir sebagai salah satu pembicara mengatakan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu telah membuat komitmen untuk menyelesaikan setiap sengketa yang terjadi selama proses. Penegasan Muhammad tersebut diapresiasi oleh Janedjri mengenai adanya komitmen itu akan meringankan MK dalam menangani perkara perselisihan hasil pemilu. (Ilham/mh)