Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya terhadap pengujian aturan mengenai pergantian antar waktu (PAW) diberlakukan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Demikian putusan dengan Nomor 72/PUU-XII/2013 ini dibacakan oleh Ketua MK Hamdan Zoelva pada Selasa (18/3) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Hamdan membacakan permohonan yang diajukan oleh Anggota DPRD Sorong Abdul Rahman Djabumona dan Elwen Pattiasina.
Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat, Mahkamah berpendapat dalil Para Pemohon yang memohon agar Pasal 35 ayat (3) UU Pemda dimaknai “Rapat Paripurna DPRD memutuskan dan menugaskan KPUD untuk mengusulkan pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah suara terbanyak kedua menjadi kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah”, dengan pemaknaan tersebut dimaksudkan agar Pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah sama dengan Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Hal ini dimaksudkan apabila anggota lembaga perwakilan tersebut berhalangan, maka akan digantikan dengan calon anggota lembaga perwakilan yang perolehan suaranya di bawahnya. Menurut Mahkamah, analogi tersebut adalah tidak tepat, karena calon anggota lembaga perwakilan yang penggantiannya menggunakan model “urut kacang” atau penggantian yang dilakukan oleh calon yang memperoleh suara terbanyak di bawahnya, pengganti yang menggantikan masih dalam satu partai dengan yang digantinya.
“Dengan perkataan lain antara pengganti dengan yang digantikan masih dalam satu partai pengusul. Adapun dalam hal penggantian kepala daerah dan wakil kepala daerah apabila penggantiannya mempergunakan model “urut kacang” maka antara calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang digantikan dengan yang menggantikannya bukan berasal dari partai pengusul yang sama, bahkan dapat juga dari calon perseorangan,” urai Arief.
Kemudian, lanjut Arief, jika dilihat dari sudut pandang pemberian mandat yang diberikan oleh rakyat kepada partai politik, maka partai politik pengusul sejatinya juga mendapat mandat dari rakyat dengan perolehan suara tertentu yang diperolehnya dalam pemilihan umum. Setelah mendapat mandat tersebut, partai politik mengusulkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Mandat yang sama juga dapat diperoleh pasangan calon perseorangan yang mendapat mandat langsung dari rakyat untuk “mengusulkan” diri menjadi pasangan calon kepala daerah. Oleh karenanya, sekiranya kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan alasan tertentu berhenti atau diberhentikan, sehingga berhalangan tetap dan tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan maka partai pengusullah yang tetap mempunyai hak untuk mengajukan calon untuk dipilih kembali dalam pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk menggantikan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang telah berhalangan tetap secara bersamaan.
“Pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak di bawahnya tidak secara serta merta menggantikannya. Apabila yang menggantikan tersebut adalah pasangan yang memperoleh suara terbanyak di bawahnya maka partai politik pengusul kehilangan hak untuk mengusulkan kembali,” jelasnya.
Selain itu, menurut Mahkamah, Pasal 35 ayat (3) UU Pemda yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya justru sangat diperlukan untuk mengakomodasi mekanisme pengisian kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki hak sebagaimana dipertimbangkan di atas. “Dengan demikian maka permohonan Para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” tandas Arief. (Lulu Anjarsari/mh)