Adanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 justru membuat Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) mendapat jaminan air baku, termasuk regionalisasi air baku untuk menghindari konflik sumber daya air. Hal tersebut karena tidak semua PDAM itu kota dan kabupaten memiliki potensi sumber air yang sama. Hal ini diungkapkan oleh Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) yang diwakili oleh Agus Sunara selaku saksi Pemerintah dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA), Selasa (18/3) di Ruang Sidang Pleno MK. Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, dan Karyawan (SOJUPEK), Rachmawati Soekarnoputri, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) La Ode Ida, mantan Menteri Pemuda Olahraga Adhyaksa Dault, serta beberapa pemohon individu lainnya tercatat sebagai pemohon dalam perkara ini.
Selain itu, UU SDA yang menjadi landasan adanya program hibah MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) justru memberikan keuntungan kepada masyarakat. Sunara mengungkapkan masyarakat mampu menyambung air dengan tarif murah dan terjangkau. “Kemampuan bayar pelanggan yaitu untuk sosial dan rumah tangga kecil dijaga agar tidak melebihi 4% dari UMK dalam hal ini affordability-nya dan PDAM ditetapkan sebagai penyelenggara SPAM, investasi sarana dan prasarana didukung oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk meningkatkan kinerja PDAM melalui bantuan program yaitu fisik dan bantuan manajemen non fisik,” urainya di hadapan Majelis Hakim dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Sementara terkait kerja sama PDAM dengan pihak swasta yang dianggap Pemohon bermasalah, Sunara mengungkapkan hal itu hanyalah salah satu pilihan dalam menjalankan bisnis plan PDAM untuk mencapai visi pelayanan 3K dan 1K. “Peningkatan layanan PDAM dapat mengurangi ketergantungan masyarakat kepada air minum isi ulang atau kemasan,” imbuhnya.
Pemerintah yang juga menghadirkan Budiman Arif sebagai Ahli yang menjelaskan pemerintah telah melaksanakan Putusan MK Nomor 058,059,060/PUU-II/2004 dan Perkara Nomor 008/PUU-III/2005. Pemerintah telah menerbitkan peraturan-peraturan pelaksanaan dan meningkatkan program-programnya yang memperhatikan pendapat Mahkamah yang telah disampaikan dalam pertimbangan hukum yang dijadikan dasar atau alasan putusan MK tahun 2004/2005. “Tentang Undang-Undang SDA, terutama berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari untuk air minum sebagai hak asasi yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” terangnya.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan adanya penyelewengan terhadap pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan perkara 058,059,060,063/PUU-II/2004 dan perkara 008/PUU-III/2005. Selain itu, Pemohon juga mempersoalkan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, yang memberikan kesempatan kepada koperasi, badan usaha swasta, atau kelompok masyarakat untuk menyelenggarakan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Menurut Pemohon, ketentuan yang diatur PP tersebut telah menyimpang dari penafsiran MK yang tertuang dalam pertimbangan putusan PUU Sumber Daya Air yang telah diputus pada 2005 lalu. Syaiful mengungkapkan, dalam pertimbangannya MK menyatakan, apabila dalam undang-undang tersebut dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan Mahkamah di atas, maka terhadap UU tersebut tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali. Menurut pemohon, pasal 40 UU Sumber Daya Air menegaskan bahwa pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) adalah tanggung jawab pemerintah pusat/pemerintah daerah, sehingga penyelenggara Sistem Penyediaan Air Minum adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). (Lulu Anjarsari/mh)