Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) mengajukan pengujian terhadap ketentuan penyelenggaraan organisasi KONI dalam Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional. Sidang perdana perkara No. 19/PUU-XII/2014 ini dipimpin oleh Ketua Panel Hakim, Anwar Usman, Senin (17/3).
Pada sidang kali ini Pemohon diwakili oleh kuasa hukumnya, Agus Dwi Warsono menyampaikan poin-poin permohonan. Salah satu pasal yang digugat oleh Pemohon, yaitu Pasal 36 ayat (1) dan ayat (3) UU Sistem Keolahragaan Nasional yang telah memberikan ketidakpastian hukum. Pemohon menganggap bunyi pasal yang mengatur pembentukan KONI di tingkat pusat tersebut multitafsir. Pemohon beralasan, pasal tersebut tidak memberikan kejelasan lebih lanjut dalam hal apa bersifat mandiri.
Pasal 36 ayat (1) dan (2) berbunyi secara detail sebagai berikut.
Pasal 36
(1) Induk organisasi cabang olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 membentuk suatu komite olahraga nasional;
(3) Induk organisasi cabang olahraga dan komite olahraga nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat mandiri.
Hal yang sama juga Pemohon masalahkan pada Pasal 37 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (3) yang mengatur pembentukan KONI di tingkat provinsi dan di tingkat kabupaten/kota. Kedua pasal tersebut juga dianggap multitafsir karena memungkinkan semua orang membentuk KONI di tingkat provinsi dan kabupaten/kota berjumlah lebih dari satu.
Selain itu, Pemohon juga mengajukan pengujian Pasal 40 UU tersebut. Meski pasal ini sudah pernah diuji ke MK, namun Pemohon yakin permohonannya tidak termasuk nebis in idem. Sebab, batu uji yang digunakan oleh Pemohon berbeda dengan batu uji yang digunakan dalam pengujian sebelumnya.
“Pemohon mengetahui bahwa pasal ini telah pernah diujikan di Mahkamah dan telah diputus menurut Putusan Nomor 2/PUU-V/2007 tanggal 22 Februari Tahun 2008. Namun, pengujian saat itu dilakukan terhadap batu uji Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sehingga judicial review yang Pemohon lakukan tidak termasuk nebis in idem karena dilakukan dengan batu uji yang berbeda, yaitu Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Agus.
Pasal 43 butir a dan b, sepanjang frasa “wilayah” juga dinilai Pemohon multitafsir. Pemohon, lanjut Agus, beralasan frasa “wilayah” tidak jelas mendefinisikan kejuaraan tingkat wilayah mana yang dimaksud. “Frasa kata wilayah dalam butir a dan b tersebut, Pemohon yakini memiliki makna yang multitafsir yang mana definisi kejuaraan tingkat wilayah tersebut tidak jelas maknanya apa, sehingga bisa ditafsirkan dengan banyak makna. Selain itu juga, konsep kejuaraan tingkat wilayah dan PON daerah bertentangan konsep dengan konsep pembinaan olahraga nasional yang berbasiskan piramida olahraga nasional. Hierarki tingkat kejuaraan telah disusun secara benar yakni dari tingkat bawah hingga atas dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional. Namun, menjadi bermasalah ketika terdapat kejuaraan tingkat daerah yang berada di tengah-tengah antara kejuaraan tingkat kabupaten/kota dengan kejuaraan tingkat provinsi,” jelas Agus lagi.
Pasal 43 berbunyi sebagai berikut.
Pasal 43
Penyelenggaraan kejuaraan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 meliputi: (a) kejuaraan olahraga tingkat kabupaten/kota, tingkat wilayah, tingkat provinsi, dan tingkat nasional; (b) pecan olahraga daerah, pecan olahraga wilayah, dan pecan olahraga nasional; (c) kejuaraan olahraga tingkat internasional; dan (d) pecan olahraga internasional
Nasihat Hakim
Sesuai kewajiban panel hakim dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menyampaikan nasihat yang dapat digunakan oleh Pemohon dalam perbaikan permohonannya.
Maria mengatakan bahwa permohonan Pemohon yang menyatakan beberapa pasal multitafsir dirasa belum jelas. Maria meminta agar Pemohon menjelaskan lagi berbagai tafsiran yang disebabkan pasal-pasal tersebut. “Ada beberapa hal yang tadi dikatakan multitafsir tapi tidak jelas yang dimaksudkan multitafsir itu apa. Seperti Pasal 36 yang dimohonkan di sini kok di dalam perihal permohonan yang di depan dalam petitum itu Pasal 36 ayat (1) dan ayat (3) saja, tapi dalam penjelasannya itu Pasal 36 ayat (2) dan ayat (4) juga dinyatakan multitafsir. Nah, apakah Pasal 36 itu secara keseluruhan pasalnya atau hanya ayat (1) dan ayat (3) saja yang kemudian itu berdampak. Itu yang harus dijelaskan seperti itu,” saran Maria. (Yusti Nurul Agustin/mh)