Meningkatnya tindakan anarkis yang dilakukan oleh elemen masyarakat seharusnya tidak menjadi latar belakang Pemerintah dan DPR menyusun Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas). Hal ini diungkapkan oleh Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris yang menjadi Ahli Pemohon pengujian UU Ormas yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (17/3) di Ruang Sidang Pleno MK.
Menurut Harris, ormas merupakan organisasi kemasyarakatan yang bersifat sukarela, maka seharusnya negara tidak perlu ikut mengaturnya. Dilihat dari urgensinya, UU Ormas tidak diperlukan karena semua kehawatiran mengenai tindak anarkis terhadap ormas tertentu, penyimpangan terhadap ideologi Pancasila, maupun adanya sumbangan dari pihak asing, tidak perlu ada karena sudah ada aturan dalam produk perundang-undangan lainnya. “Meningkatnya tindakan anarki tidak dapat dijadikan pembenaran untuk menerbitkan UU ormas. Tindakan anarki yang terjadi justru merupakan kegagalan negara dalam mengelola kebebasan berekspresi dan menegakkan supremasi hukum,” ujarnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Seharusnya, lanjut Harris, yang perlu diimplementasikan adalah tentang cara negara menjamin dan melindungi kebebasan warga negara dan mengelola keberagaman yang menjadi landasan kita. Haris menambahkan cara negara mengatur aktivitas sukarela masyarakat mencerminkan rasa ketidakpercayaan negara terhadap masyarakatnya.
Sementara itu, Direktur PUKAT UGM Zainal Arifin Mochtar yang juga merupakan Ahli Pemohon menjelaskan pengertian ormas dalam Pasal 1 UU Ormas mencakup semua organisasi yang ada di masyarakat. Maksud negara mengontrol ormas terlihat dalam Pasal 5 UU Ormas. “Padahal seharusnya negara tidak perlu mengontrol tujuan ormas. Karena pembentukan ormas merupakan bagian dari jaminan hak berserikat dan berkumpul. Dan hak-hak tersebut merupakan manifestasi kemerdekaan pikiran setiap pribadi dan tidak dibenarkan siapapun mengontrol hal tersebut,” tegasnya.
Sebelumnya, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah yang tercatat sebagai pemohon pengujian UU Ormas yang baru disahkan bulan lalu tersebut dengan nomor perkara 82/PUU-XII/2013. Dalam permohonannya, PP Muhammadiyah menuntut agar MK membatalkan sejumlah pasal dalam UU Ormas yang dianggap telah menghalangi hak konstitusional Pemohon. Pasal yang digugat, yakni Pasal 1 angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat 2, Pasal 33 ayat (1) dan (2), pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3) huruf a UU No 17 tentang Ormas. Kemudian pada 9 Januari 2014, sejumlah lembaga swadaya masyarakat menyusul mengajukan permohona dengan registrasi perkara Nomor 3/PUU-XIII/2014.
Menurut para pemohon, UU tersebut telah membatasi hak asasi manusia untuk berserikat dan berkumpul, sebagaimana yang dijamin sepenuhnya oleh UUD 1945. Pengekangan tersebut dibungkus melalui UU yang bersifat represif dan bernuansa birokratis. Selain itu, banyak keanehan yang terdapat dalam UU Ormas karena adanya pertentangan dan kontradiksi yang terjadi. (Lulu Anjarsari/mh)