Dalam penyelenggaraan negara dibatasi oleh kehendak rakyat yang disebut hukum. Tujuannya, supaya tidak terjadi kesewenang-wenangan dengan pembatasan tersebut. Demikian diungkapkan Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi, narasumber pada acara Pendidikan dan Pelatihan Penyelesaian Perkara PHPU Legislatif 2014 bagi Jaksa Pengacara Negara, Partai Lokal Aceh dan Calon Anggota DPD pada Rabu (12/3) malam di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua.
Cara pembatasannya supaya penyelenggaraan negara tidak sewenang-wenang dan efektif mencapai tujuan, hukum mengatur pembagian kekuasaan. “Untuk itu hukum membagi penyelenggara negara ke dalam kekuasaan-kekuasaan. Karena sebenarnya negara adalah instrumen rakyat untuk mencapai tujuan bersama,” ucap Ahmad Fadlil Sumadi yang menyampaikan materi “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum”.
Agar negara dapat menyelenggarakan tugas-tugasnya, diberikanlah negara sebuah kekuasaan. Kekuasaan yang diberikan ini agar tidak sewenang-wenang, harus dibagi dan jangan ditumpuk pada satu lembaga atau lebih-lebih pada satu orang. “Karena memberikan kekuasaan yang besar kepada satu lembaga, akan mengakibatkan terkonsentrasinya kekuasaan itu pada satu titik yang menurut teori, kekuasaan itu cenderung untuk sewenang-wenang. Kalau menumpuk sedemikian besar, itu disebut absolut kekuasaannya,” ujar Fadlil.
Yang paling mudah, kata Fadlil, teori pembagian kekuasaan terdiri atas tiga. Ada kekuasaan di bidang pembentukan hukum atau legislatif, kekuasaan yang menyelenggarakan undang-undang atau eksekutif, dan kekuasaan kehakiman atau yudikatif. “Jadi, kekuasaan kehakiman substansinya adalah kekuasaan negara di bidang penyelesaian suatu sengketa,” jelas Fadlil.
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman disebut dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) yang dibentuk pada 13 Agustus 2003, memiliki kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Selain itu MKRI memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Hukum Acara PHPU
Lebih lanjut Fadlil menerangkan mengenai Hukum Acara Perselisihan Pemilu, yang terdiri dari tahapan pengajuan permohonan, pendaftaran dan penjadwalan sidang, pemeriksaaan pendahuluan, pemeriksaan persidangan dan putusan. Sedangkan yang menjadi para pihak persidangan adalah parpol peserta Pemilu, perseorangan calon anggota DPR atau DPRD dengan persetujuan parpol yang bersangkutan sebagai pemohon.
Di antara para pihak, ada juga perseorangan calon anggota DPD sebagai pemohon, penyelenggara sebagai termohon. Juga parpol peserta pemilu, perseorangan calon anggota DPR atau DPRD dengan persetujuan parpol yang bersangkutan sebagai pihak terkait. Lainnya, ada pengawas sebagai pemberi keterangan resmi. (Nano Tresna Arfana/mh)