Sidang lanjutan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (13/3). Kepaniteraan MK mencatat Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) sebagai pemohon perkara dengan Nomor 96/PUU-XI/2013 tersebut.
Dalam sidang tersebut Koalisi Buruh sebagai Pihak Terkait menghadirkan saksi, Indra Munaswar yang aktif bergabung dalam Serikat Pekerja Tekstil. Dalam keterangannya, ia menjelaskan bahwa UU Ketenagakerjaan merupakan bentuk tanggung jawab dan perlindungan negara terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran norma-norma terkait perburuhan baik konvensional maupun non konvensional. “UU Ketenagakerjaan justru mendudukan kaum buruh setara secara yuridis dengan kaum majikan,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Indra mengungkapkan perlunya komisi pengawas perburuhan seperti halnya KPK. “Hal tersebut untuk melindungi para pekerja dari pemutusan kontrak secara sepihak dan melindungi para pekerja,” imbuhnya.
Indra menjelaskan sebelum adanya UU Ketenagakerjaan, pekerja borongan akan mengerjakan tugas inti dari pekerja tetap. Oleh karenanya, Indra yang termasuk dalam tim kecil Serikat Buruh dalam pembentukan UU Ketenagakerjaan menyusun pasal-pasal yang diajukan untuk di-judicial review oleh Pemohon. “Kami tidak ingin buruh dijadikan budak belian yang bisa ditaruh dimana saja. Karena dia tidak memenuhi persyaratan dan melanggar padahal dia bukan pekerja utama, tetapi mengerjakan pekerjaan utama,” ungkapnya.
Dalam pokok permohonannya, dalam pendapat Mahkamah dalam Putusan Perkara Nomor 27/PUUIX/2011 menyatakan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 59 bukanlah persoalan konstitusionalitas melainkan hanya persoalan implementasi, namun pada kenyataannya persoalan implementasi Pasal 59 ayat (7) UU tersebut menjadi persoalan konstitusionalitas karena penegakan norma dilakukan tidak sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku. Sedangkan, dalam Pasal 65 ayat (8) UU tersebut, justru memberikan ketidakjelasan pada saat implementasi karena adanya penafsiran yang berbeda-beda. Sementara itu, implementasi Pasal 66 ayat (4) UU tersebut bersifat multitafsir dari para stake holder bidang hubungan industrial di Indonesia, yaitu terkait dengan jenis-jenis pekerjaan yang dapat diserahkan melalui perusahaan pemborongan, lembaga mana yang berwenang untuk menentukan terpenuhi atau tidaknya norma tersebut dan mekanisme penegakan norma hukum apabila tidak terpenuhi syarat-syarat berkaitan dengan jenis pekerjaan yang diserahkan melalui Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja (PPJTK) dan legalitas syarat badan hukum PPJTK tersebut. (Lulu Anjarsari/mh)