Kekuasaan kehakiman bertugas menegakkan hukum dan keadilan. Agar bisa memeriksa dan memutus perkara, kekuasaan kehakiman harus bersifat merdeka. “Karena kekuasaan kehakiman memiliki kekuasaan paling sedikit dibanding cabang kekuasaan yang lain, eksekutif dan legislatif,” ujar Ali Safaat saat menjadi narasumber Pendidikan dan Pelatihan Penyelesaian Perkara PHPU Legislatif 2014 bagi Jaksa, Parpol Lokal Aceh, DPD pada Kamis (13/3) di Cisarua.
“Kekuasaan kehakiman yang merdeka ini dijamin oleh konstitusi. Di negara mana pun kekuasaan kehakiman pasti memiliki kemerdekaan. Kalau tidak ada jaminan kemerdekaan, maka dengan mudah lembaga peradilan akan bisa diintervensi kekuasaan lain,” tambah Ali Syafa’at kepada para peserta.
Mahkamah Konstitusi (MK) misalnya, dikatakan memiliki kekuasaan yang besar, namun kalau putusan MK tidak dihiraukan oleh cabang kekuasaan yang lain, maka tidak ada kekuatan sama sekali. Karena itulah kekuasaan kehakiman harus bersifat merdeka.
“Karena dengan begitu, dia bisa mengimbangi kekuatan dari cabang kekuasaan yang lain. Pengakuan terhadap kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan salah satu unsur dari negara-negara yang beradab,” ucap Safaat.
Dikatakan Syafa’at, ketika suatu negara tidak mematuhi putusan-putusan lembaga peradilan, maka dipertanyakan keberadaan keberadaban negara itu. “Ketika itu terjadi, maka prinsip negara hukum sudah tidak lagi dianut di negara itu,” tegasnya.
Prinsip negara yang berdasarkan hukum saat ini merupakan tanda sebuah negara dikatakan sebagai negara yang beradab atau negara yang tidak beradab. “Di mana pun, kepatuhan terhadap lembaga peradilan merupakan tanda keberadaban atau kemajuan sebuah negara,” kata Safaat.
Kemerdekaan kekuasaan kehakiman sangat diperlukan karena sifat lembaga peradilan yang memutus suatu perkara. Kalau di MK misalnya perkara pengujian UU yang merupakan perkara permohonan.
“Dalam praktiknya seringkali berubah, tidak lagi jadi permohonan karena kemudian ada pihak terkait pembentuk undang-undang,” ungkap Safaat.
Dalam praktiknya, pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR dan pemerintah selalu berposisi mempertahankan undang-undang. Padahal sebetulnya dalam perkara pengujian undang-undang, keberadaan pembentuk undang-undang dihadirkan di MK untuk mendengar keterangannya.
“Meski dalam praktiknya, ternyata pembentuk UU selalu memposisikan diri sebagai pihak termohon. Banyak yang memahami bahwa ini adalah perkara antara warga negara dengan negara,” urai Safaat.
Di sisi lain, lanjut Safaat, ada perkara yang melibatkan dua pihak, bisa antara warga negara individu dengan pejabat tata usaha negara, gugatan warga negara terhadap warga negara, antara lembaga negara dengan warga negara dan sebagainya.
“Kalau lembaga peradilan tidak merdeka, maka akan diragukan objektivitas ketidakberpihakannya dalam memutus pekara. Kalau objektivitasnya sudah diragukan, maka tidak akan bisa mencapai tujuan pembentukan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan,” tandas Safaat. (Nano Tresna Arfana/mh)