Terdapat tren baru dalam perkembangan ketatanegaraan di Indonesia saat ini, dengan dibentuknya beberapa komisi-komisi negara, seperti Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia dan lainnya.
“Kenapa institusi-institusi semacam itu dibentuk? Karena institusi negara dalam pengertian tradisional dianggap tidak bisa lagi menjawab kebutuhan ketatanegaraan. Maka muncul komisi-komisi seperti itu,” kata pakar hukum tata negara, Saldi Isra selaku narasumber acara Pendidikan dan Pelatihan Penyelesaian Perkara PHPU Legislatif 2014 bagi Jaksa Pengacara Negara, Partai Lokal Aceh dan Calon Anggota DPD pada Rabu (12/3) di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua.
Salah satu komisi negara adalah Komisi Yudisial (KY). Dikatakan Saldi, KY sebenarnya bukanlah alat pemerintah. KY merupakan komisi independen dalam mengisi hakim agung dan menjaga perilaku hakim agung. “Dengan demikian, KY tidak termasuk eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. KY memang bersentuhan dengan kekuasaan kehakiman, terutama Mahkamah Agung,” urai Saldi.
Saldi menjelaskan, sebagian orang menganggap cara KY melakukan tugasnya, berpotensi mencampuri Mahkamah Agung. Misalnya, kalau ada putusan ‘aneh-aneh’, hakim agung yang bersangkutan dipanggil KY, lalu hakim agung itu menjadi takut. “Tetapi, ini memang soal cara yang harus diperdebatkan. Institusinya memang diperlukan. Sebab tidak mungkin, tidak ada pengawasan. Sekarang dengan ada KY, mulai terungkap ada hakim yang berselingkuh dan segala macam,” tutur Saldi. “Karena apa? Prinsip dasarnya, tidak ada kekuasaan yang tanpa pengawasan,” tambah Saldi.
Selain mengenai masalah komisi negara, Saldi juga menanggapi adanya wacana Kementerian Dalam Negeri yang membahas dengan DPR untuk mengubah pola pemilihan dalam pemilu kepala daerah secara langsung dengan dipilih oleh DPRD. “Namun apakah ada risikonya tidak? Kalau dipilih oleh DPRD, maka simpul korupsi akan berpindah kepada anggota DPRD dan pengurus parpol? Kalau hari ini, simpul politik uangnya tersebar pada rakyat sebagai pemilih,” urai Saldi. “Makanya sekarang orang mengatakan, sebetulnya jangan dulu mengubah model pemilihannya, tetapi dilaksanakan pemilu serentak,” tegas Saldi.
Lebih lanjut Saldi menerangkan pengertian konstitusi secara teoritis. Konstitusi adalah hukum dasar, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam pengertian, konstitusi itu adalah konstitusi negara. “Konstitusi terdiri atas konstitusi terkodifikasi dan konstitusi yang tidak terkodifikasi. Konstitusi terkodifikasi adalah yang termaktub dalam satu buku, rujukannya jelas, mulai dari pasal-pasal maupun bab-babnya dan sebagainya. Sedangkan konstitusi yang tidak terkodifikasi adalah yang tidak terhimpun dalam satu buku,” papar Saldi.
Dahulu, kata Saldi, orang menyebut Inggris menerapkan konstitusi tidak tertulis. Tapi sebenarnya Inggris punya konstitusi tertulis, namun tidak dalam satu buku, berserakan dalam banyak naskah. Salah satu konstitusi Inggris adalah kesepakatan raja dengan rakyat ketika menentang kenaikan pajak yang tinggi, yang kemudian disebut dengan Magna Charta. Hal ini dianggap sebagai konstitusi. (Nano Tresna Arfana/mh)