Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memberikan atau menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, itu harus ditempatkan pada struktur peraturan perundang-undangan terendah, yang mencerminkan sila-sila Pancasila yang ada pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Hal ini disampaikan oleh Muhammad Mukhtasar yang menjadi Ahli Pemohon pengujian pengujian UU Pemerintahan Daerah dan UU Kekuasaan Kehakiman pada Rabu (5/3) di Ruang Sidang Pleno.
“Sejauh ini kami tidak dapat memberikan pertimbangan sejauh mana manfaat keadilan, kesejahteraan yang dapat diperoleh oleh rakyat dengan kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi oleh undang-undang itu. Tetapi berdasarkan struktur pembuatan dan pemberlakuan undang-undang, ini masih tidak dapat dikatakan sudah konsisten dalam mengamalkan atau menjadikan Pancasila sebagai rechtsidee itu,” ungkap Mukhtasar di hadapan majelis hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Mukhtasar mengungkapkan bahwa kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa hasil Pilkada itu dapat dikatakan untuk selama ini tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menunjukkan bahwa rezim Pemilu itu sudah diatur pada satu bab tertentu, tetapi penyelesaian hasil sengketa Pilkada itu masuk pada bagian pemerintahan daerah. “Sehingga ini perlu kita tinjau kembali dan memberikan keterangan bahwa rezim Pemilu yang diatur adalah pemilihan umum secara umum,” ungkapnya.
Dalam sidang sebelumnya, merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) menyelesaikan sengketa Pemilukada, beberapa mahasiswa yang tergabung dalam Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) sebagai Pemohon I, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul (BEM FH UEU) sebagai Pemohon II, Joko Widarto sebagai Pemohon III, dan Achmad Saifudin Firdaus sebagai Pemohon IV mengajukan judicial review. Para Pemohon perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 97/PUU-XI/2013 merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 236 C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Pasal 236C UU Pemda menyatakan“Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan. Sementara itu, Pasal 29 ayat (1) huruf e UU Kekuasaan Kehakiman menjelaskan “salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar”.
Pemohon mengungkapkan dirinya merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya penambahan kewenangan kepada MK untuk mengadili sengketa pemilihan kepala daerah. Pemohon menilai kewenangan tersebut mengalihkan tugas pokok Mahkamah sebagai penjaga konstitusi. Dalam permohonan dijelaskan bahwa pelaksanaan kedua ketentuan tersebut telah bertentangan dengan konstitusi, yaitu melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena tidak mengindahkan dan memenuhi kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang berlaku dalam sebuah norma hukum. Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 karena hanya membatasi ruang lingkup kewenangan Mahkamah sebatas penanganan pemilihan umum saja dan sengketa yang dimaksud ketentuan tersebut tidak termasuk. Kedua pasal tersebut juga menurut Para Pemohon juga tidak sejalan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 karena tidak mengatur dan memberikan kewajiban kepada norma yang lebih rendah untuk memberikan kewenangan penyelesaian sengketa Pilkada pada MK. Untuk itulah, Para Pemohon meminta agar kedua pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (Lulu Anjarsari/mh)