Sekretaris Jenderal (Sekjen) Mahkamah Konstitusi (MK) Janedjri M. Gaffar, menjadi narasumber bedah buku yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Sekretariat Wakil Presiden, Selasa (11/03/2014), di Auditorium Istana Wakil Presiden, Jakarta.
Dalam kesempatan tersebut, Janedjri memaparkan buku karyanya berjudul “Demokrasi dan Pemilu di Indonesia” sebagai penggalan dari disertasi doktoral yang berhasil dipertahankan olehnya pada sidang senat terbuka pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Buku ini diterbitkan oleh Konstitusi Press pada November 2013.
Dikatakan oleh Janedjri, pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana penyerahan kekuasaan yang dimiliki oleh rakyat kepada negara dan sekaligus sebagai legitimasi negara mendapatkan mandat rakyat. Dijelaskan lebih lanjut, hal ini berdasarkan doktrin teori negara demokrasi di mana rakyat berdaulat atas negara, namun rakyat tidak dapat melaksanakan pemerintahan. Oleh sebab itu kekuasaan itu diberikan kepada kekuasaan organ negara.
Lebih lanjut, Janedjri mengatakan bahwa Pemilu sebagai elemen kunci demokrasi harus dilaksanakan secara demokratis. Salah satu ciri negara demokratis tersebut ditunjukkan dengan adanya lembaga yang dapat menyelesaikan sengketa Pemilu, oleh sebab itu MK dihadirkan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Menurutnya, demokrasi tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri, karena demokrasi yang berjalan tanpa pengawalan akan menimbulkan mobokrasi, yaitu pemerintahan yang dipegang dan dipimpin oleh rakyat yang tidak tahu seluk-beluk pemerintahan. Demokrasi sendiri, lanjut Janedjri, harus diimbangi pula oleh nomokrasi, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) yang dibentuk oleh para founding fathers kita. Menurutnya, keduanya harus berjalan seimbang, karena jika nomokrasi atau negara hukum dibiarkan berjalan sendiri tanpa demokrasi, justru akan menimbulkan otoritarianisme, karena hukum dibentuk berdasar keinginan penguasa.
Janedjri memaparkan, prinsip negara demokrasi berdasarkan hukum dan negara hukum yang demokratis ini sudah diidealkan sejak berdirinya negara Indonesia. Oleh para pendiri bangsa prinsip tersebut dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai kesadaran bahwa negara Indonesia yang dibentuk berdasarkan kedaulatan rakyat.
Berbicara mengenai sengketa Pemilu, Janedjri mengungkapkan mengenai pengalaman MK selama ini dalam menangani perselisihan hasil Pemilu, baik Pemilu legislatif maupun presiden. Menurutnya banyak pelanggaran-pelanggaran yang terjadi tidak dapat diselesaikan ketika Pemilu dilaksanakan, hal itu membuat permasalahan yang menumpuk dibawa ke MK.
Dikatakan olehnya, setiap perkara yang masuk ke MK selalu dilihat mengenai konstitusionalitasnya. Begitu juga dengan perkara perselisihan hasil pemilihan umum yang mempersoalkan hasil perolehan suara partai politik peserta Pemilu. Menurut Janedjri, jika dari pelaksanaan Pemilu ditemukan pelanggaran yang memengaruhi hasil perolehan suara, maka MK akan menilai konstitusionalitas hasil perolehan suara itu.
Terhadap pemaparan Jendedjri, terdapat dua pembahas dalam dalam bedah buku tersebut, yaitu pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra dan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ida Budhiarti. Akademisi dan praktisi Pemilu tersebut memberikan sejumlah catatan terhadap buku itu.
Saldi Isra memberikan saran agar beberapa putusan MK yang terkait dengan Pemilu dapat dimasukkan dan dielaborasi dalam buku tersebut. Sementara Ida Budhiarti memberikan saran agar buku yang ditulis Janedjri tersebut dilengkapi dengan contoh-contoh praktis untuk memudahkan kalangan praktisi dan masyarakat awam memahami isi buku tersebut. (Ilham/mh)