FAO menyatakan bahwa seluruh penduduk dunia bisa menghasilkan 1,5 kali lebih besar dari yang dibutuhkan oleh penduduk di seluruh dunia. Akan tetapi persoalannya, jika negara bekerja sama dengan baik dengan produsen pangan, maka tujuan yang disebut akan tercapai. Namun persoalannya ada pada pilihan negara. Hal ini disampaikan oleh Ahli Pemohon Hira Jamthani yang hadir dalam sidang pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan) yang berlangsung pada Selasa (11/3) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Pilihan negara untuk membantu pihak yang ingin menguasai pangan untuk mendapatkan kekuasaan dan pasar atau berpihak pada kedaulatan dari warga negaranya agar kita berkecukupan pangan yang sehat. Perlu diingat bahwa isu transgenik bukan hanya persoalan teknologi, melainkan isu kedaulatan. Dan ada negara yang bisa menunjukkan kedaulatan itu,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat.
Filipina dan Peru, lanjut Hira, telah menyatakan diri bebas dari transgenik dan rekayasa genetik untuk pangannya. Ia meyakini bahwa pangan adalah urusan bersama. “Maka kita harus berdaulat untuk mendapatkan pangan yang sehat,” imbuhnya.
Sementara itu, Fadil Kirom yang menjadi ahli pemohon berikutnya mengungkapkan tidak adanya kepastian lembaga penjamin kebutuhan pangan. Hal ini terlihat dengan adanya kasus penyelundupan dan impor beras. “Kita melihat simpang siur siapa yang bertanggung jawab atas kasus penyelundupan dan impor beras antara menteri pertanian dan menteri perdagangan. Hal ini menunjukkan ketidakpastian mengenai lembaga yang bertanggung jawab dalam kecukupan produksi pangan pokok,” urainya.
Enam pasal dalam UU Pangan dipersoalkan oleh 12 lembaga swadaya masyarakat (LSM) yaitu Indonesian Human Rights Commitee For Social Justice(IHCS), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Perserikatan Solidaritas Perempuan (SP), Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Perkumpulan Sawit Watch, Farmer Initiatives for Ecological Livelihoods and Democracy (FIELD), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Indonesia for Global Justice (IGJ), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dan Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Para pemohon mempersoalkan kebijakan pengadaan produk pangan dan pertanian yang diatur dalam enam pasal dalam UU tersebut, masing-masing Pasal 3, Pasal 36 ayat (3), Pasal 53, Pasal 69 huruf c, Pasal 77 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 133. Menurut Para Pemohon, ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal tersebut mengakibatkan hilangnya perlindungan negara terhadap pelaku usaha pangan skala kecil. Para Pemohon berargumen dengan adanya ketentuan tersebut mengakibatkan ketidakjelasan kebijakan pangan, terutama dengan adanya kebijakan impor produk pangan dan pertanian yang dilakukan pemerintah dengan alasan adanya kurangnya cadangan pangan nasional. Lebih lanjut, salah satu kuasa hukum Para Pemohon, Beni Dikty Sinaga, mengungkapkan kebijakan impor pangan rawan suap dan hanya menguntungkan pelaku usaha pangan besar. Para Pemohon meminta kepada MK agar enam pasal yang dimohonkan oleh Pemohon untuk diuji dinyatakan bertentangan dengan konstitusi. (Lulu Anjarsari/mh)