Staf Ahli Menteri Bidang Hubungan Antar Lembaga Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sunarno menyatakan frasa ‘demi hukum’ dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan justru dalam rangka memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pekerja/buruh maupun pengusaha.
Hal tersebut disampaikan Sunarno dalam sidang lanjutan pengujian UU Ketenagakerjaan dengan perkara nomor 7/PUU-XII/2014 yang dimohonkan oleh M. Komarudin sebagai perwakilan dari Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI). Pada sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat, Sunarto menegaskan apabila ada perusahaan yang melakukan pelanggaran sesuai ketentuan Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, Pengawas Ketenagakerjaan melakukan pemeriksaan untuk menilai persyaratan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
“Selanjutnya, Pengawas Ketenagakerjaan mengeluarkan nota pemeriksaan sebagai peringatan agar pengusaha melaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” jelasnya di ruang sidang pleno, Gedung MK, Jakarta, Senin (10/3).
Lebih lanjut, sesuai Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 3 Tahun 1984 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu, dalam Pasal 1 huruf d menyatakan Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu adalam suatu sistem pengawasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang merupakan rangkaian kegiatan penyusunan rencana kerja, pemeriksaan di perusahaan atau tempat kerjam penindakan korektif baik secara preventif maupun represif, dan laporan hasil pemeriksaan. Nota pemeriksaan pengawas tersebut, dinilai Sunarto merupakan kegiatan penindakan korektif secara preventif.
Dengan kata lain, sambungnya, frasa ‘demi hukum’ yang terdapat dalam pasal tersebut bersifat langsung dapat dilaksanakan atau berlaku dengan sendirinya. “Berdasarkan hal tersebut, menurut Pemerintah ketentuan Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan khususnya frasa ‘demi hukum’ justru memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pekerja/buruh maupun pengusaha itu sendiri. Karena itu, menurut Pemerintah tidak diperlukan lagi pembuktian dan dan putusan pengadilan,” tandasnya.
Sebelumnya, FISBI mengajukan uji materi frasa ‘demi hukum’ pada sejumlah pasal dalam UU Ketenagakerjaan lantaran pasal tersebut dinilai hanya mengatur sepanjang tata cara penyelesaian penyimpangan normayang mengandung unsur tindak pidana ketenagakerjaan dan tidak mengatur mengenai tata cara bagaimana pelaksanaan (eksekusi) atas penetapan tertulis dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, yang tidak dimintakan pemeriksaan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, dan juga tidak dijalankan secara suka rela oleh pengusaha/majikan. Sehingga menurut Pemohon pada Pasal yang dimohonkan terdapat kekosongan hukum yang dapat menimbulkan kerugian para Pemohon.
Lebih mendalam, Pemohon berpendapat bahwa frasa “demi hukum” pada ketiga Pasal UU tersebut belum memberikan kepastian hukum karena pengaturan akibat hukum atas tidak terpenuhinya syarat-syarat perjanjian kerja waktu tertentu menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu, hanya sampai dengan diterbitkannya hasil pemeriksaan serta penetapan tertulis yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan. Sehingga selanjutnya, menurut Pemohon, penetapan tertulis tersebut dapat dimintakan ke Pengadilan Negeri yang dilaksanakan menurut aturan-aturan yang biasa untuk menjalankan suatu putusan perdata.
Dengan alasan tersebut, para Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan frasa ‘demi hukum’ ketiga Pasal UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai ‘meniadakan hak pekerja atau buruh untuk meminta pelaksanaan terhadap nota pegawai pengawas ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan ke pengadilan negeri melalui pengadilan hubungan industrial setempat, apabila pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mengubah perjanjian kerja waktu tertentu menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu’. (Lulu Hanifah/mh)