Sejumlah pihak yang bersengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menggugat penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS) ke Mahkamah Konstitusi.
Dalam sidang perdana pengujian UU dengan Perkara Nomor 15/PUU-XII/2014, Pemohon yang diwakili kuasa hukum Andi Syafrani merasa berpotensi dirugikan dengan penjelasan Pasal 70 UU AAPS. Pemohon pernah bersengketa di BANI dengan Perkara Nomor 443/I/ARB-BANI/2012. BANI memutuskan mengabulkan sebagian apa dimintakan dalam gugatan, tetapi Pemohon merasa ada beberapa hal yang masih perlu dipertimbangkan ulang dalam putusan itu.
“Karenanya kami menggunakan hak kami sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh Undang-Undang AAPS untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase di BANI yang diajukan ke Pengadilan Negeri Bandung karena putusan tersebut didaftar diregistrasi di sana tempat di mana pihak Tergugat berada,” jelas Andi di Ruang Sidang Pleno Gedung MK, Jakarta, Kamis (6/3).
Dalam putusan di Pengadilan Negeri Bandung, Andi mengaku gugatan Pemohon banyak dikabulkan. Pihak Termohon lalu mengajukan proses banding ke Mahkamah Agung dan hingga kini masih berproses.
Pasal 70 UU AAPS menyatakan:
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
- a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
- b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau
- c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa
Adapun penjelasan Pasal 70 UU AAPS menyatakan: ....Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.
Kata ‘diduga’ dalam Pasal 70 UU AAPS menurut Pemohon menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal tersebut karena dalam penjelasan pasal tersebut menyatakan permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan dengan alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Dengan kata lain, apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan. “Nah, di sini secara nyata terlihat secara verbatim, secara redaksional ada perbedaan norma antara substansi pasal, batang tubuh Pasal 70 dan penjelasannya,” jelas Andi.
Lebih dalam, penjelasan Pasal 70 UU AAPS mengandung norma baru atau perubahan terselubung yang bertentangan dengan substansi pokok pasalnya. Selain itu Pemohon juga menilai penjelasan Pasal 70 tidak operasional dan menghalangi hak hukum untuk pencari keadilan. Terakhir, karena undang-undang ini sudah berlaku sejak 1999, telah banyak putusan-putusan pengadilan yang mereferensi kepada ketentuan norma penjelasan Pasal 70 ini. “Dari pengamatan kami terhadap fakta-fakta yang ada di persidangan, sering terjadi pertentangan antara putusan yang diambil oleh judex facti yang ada di pengadilan negeri, dan judex juris yang ada di Mahkamah Agung,” tandas Andi. Oleh karena itu, Pasal 70 UU AAPS tersebut dinilai bertentangan dengan konstitusi khususnya Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Menanggapi Permohonan tersebut, hakim majelis panel yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi beranggotakan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan Patrialis Akbar meminta Pemohon memastikan tuntutan permohonan atau petitum-nya, apakah ingin dinyatakan seluruhnya bertentangan dengan UUD 1945 atau memberikan konstitusional bersyarat. (Lulu Hanifah/mh)