Undang-Undang Perbendaharaan Negara tidak memberikan rincian lebih lanjut tentang pemblokiran. seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan. Maka ketentuan tentang pengesahan anggaran yang dipersoalkan inilah yang sesungguhnya tidak memberikan jaminan kepastian hukum.
Hal ini disampaikan oleh Irmanputra Sidin selaku Ahli Pemohon pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara) dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) yang digelar MK pada Kamis (6/3) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara dengan Nomor 95/PUU-XII/2013 ini dimohonkan oleh pengajar Ilmu Pertahanan dan Hukum Tata Negara, yakni Anton Ali Abbas dan Aan Eko Widiarto.
Padahal, lanjut Irman, UU Keuangan Negara dalam penjelasannya sudah menyebutkan bahwa ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN atau APBD ditetapkan tersendiri dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara. Hal tersebut karena lebih banyak menyangkut hubungan administratif antar kementerian negara atau lembaga di lingkungan pemerintah.
“Undang-undang yang tak memberikan jaminan kepastian hukum inilah yang kemudian secara eksesif ditafsirkan dengan membentuk norma atau keadaan hukum baru bagi lembaga negara yang diserahi wewenang itu bernama norma pemblokiran yang sesungguhnya belum pernah disepakati secara jelas, tegas, dan tertulis di bawah prinsip payung daulat rakyat,” urainya.
Selain itu, karena ketentuan pemblokiran itu bukan lahir langsung dari undang-undang, namun hanya berdasarkan pembenaran akan desain-desain basis delegasi kewenangan dan diskresi yang mengandalkan semangat penyelenggara negara. Irman pun menjelaskan karena pemblokiran ini juga bukanlah hal yang inkonstitusional, maka conditionally uncondititutional ini sebaiknya berakhir di kala Undang-Undang Keuangan Negara c.q. Undang-Undang Perbendaharaan Negara ini dilakukan perubahan.
“Dan ditulis jelas dalam undang-undangnya bahwa Menteri Keuangan untuk dan atas nama presiden dapat melakukan pemblokiran dan kondisi yang terrinci, jelas, tegas, tertulis, salah satunya dengan memperjelas berbagai indikator yang menjadi dasar bagi Menteri Keuangan melakukan pemblokiran anggaran. Alasan pemblokiran harus terukur dan dapat dipertanggungjawabkan,” paparnya.
Dalam pokok permohonannya, para pemohon merasa kewenangan yang dimiliki Menteri Keuangan untuk mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran seperti yang termaktub dalam Pasal 8 huruf c UU Keuangan Negara dan Pasal 7 ayat (2) huruf b UU Perbendaharaan Negara bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 20A ayat (1) UUD 1945. Pemohon menjelaskan, seharusnya ketika anggaran sudah disetujui DPR, kewenangan Menteri Keuangan untuk mengesahkan dokumen tidak diperlukan lagi. Atas dasar argumen tersebut, Pemohon meminta Mahkamah untuk menyatakan ketentuan Pasal 8 huruf c UU Keuangan Negara dan Pasal 7 ayat (2) huruf b UU Perbendaharaan Negara inkonstitusional bersyarat. Pada intinya, Para Pemohon meminta agar dihilangkannnya kewenangan Menteri Keuangan untuk melakukan pemblokiran anggaran yang telah ditetapkan melalui UU APBN atau UU APBNP. (Lulu Anjarsari/mh)