Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (UU PNPB) dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi) pada Selasa (4/3) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 12/PUU-XIII/2014 ini dimohonkan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).
Dalam pokok permohonannya, Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya Pradnanda Berbudy, dkk, mendalilkan hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNPB serta Pasal 16, Pasal 26 dan pasal 34 UU Telekomunikasi. Menurut Pemohon, kedua undang-undang tersebut adalah dasar hukum bagi Pemerintah melakukan pungutan bukan pajak. Pradnanda menjelaskan ada tiga penerimaan yakni Universal Service Obligation, biaya penyelenggaran telekomunikasi dan frekuensi.
“UU ini mengamanatkan kepada Pemerintah untuk diatur lebih lanjut dengan PP No. 7/2009 yang berlaku kepada Kementerian Komunikasi dan Telekomunikasi. Ketiga pungutan tersebut PNBP, tapi tidak diatur secara tegas nominal angkanya. Ternyata nominal angka diatur dalam lampiran. Hal ini tidak menunjukkan ketidakpastian hukum karena tidak diatur undang-undang, namun di PP, itupun hanya melalui lampiran,” urainya.
Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Patrialis Akbar memberikan saran perbaikan kepada pemohon. Anwar Usman meminta agar pemohon sebagai asosiasi melengkapi AD/ART. Sementara Arief Hidayat mengungkapkan pemohon juga harus melengkapi argumennya dengan melihat kerugian dari sudut pandang konsumen. Hal ini, lanjut Arief, karena konsumen pun merasa dirugikan dengan aturan penentuan tarif tersebut.
“Pemohon kurang menjelaskan dan menguraikan apa yang diinginkan para pemohon secara tegas. Seharusnya pemohon dapat menjelaskan kalimat yang sederhana kerugian yang dialami, secara konstitusional atau finansial. Pemohon harus bisa menjelaskan PNPB adalah menaikkan biaya produksi yang akhirnya yang dirugikan bukan pengusaha, tapi masyarakat umum sebagai konsumen. Konsumen bisa dirugikan karena sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat. Hal ini bisa membebani rakyat,” ungkapnya.
Pemohon diberi waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan terhadap permohonan sesuai saran majelis hakim. Sidang berikutnya mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/mh)