Pengujian UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik - Perkara No. 100/PUU-XI/2013 - kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (4/3) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli Pemohon. Sebagaimana diketahui, Pemohon adalah Basuki Agus Suparno, Hendro Muhaimin, dkk. Sedangkan kuasa hukum Pemohon adalah TM Luthfi Yazid, dkk.
Ahli Pemohon bernama Sujito selaku Kepala Pusat Studi Pancasila UGM, menjelaskan sejak munculnya istilah ‘pilar’ dan istilah ini dikaitkan dengan pilar kebangsaan, ada yang rancu menyebutnya sebagai pilar kenegaraan dan ada pula yang menyebutnya empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Kita melihat Pancasila kenapa dimasalahkan ketika dikaitkan dengan istilah pilar. Dari sisi historis kita melihat Pancasila itu sebagai way of life, pandangan hidup bangsa dan istilah itu muncul dari penggalinya, founding fathers,” jelas Sujito.
Pancasila sebagai way of life ini sudah ada sejak ratusan tahun silam, jauh sebelum bangsa Indonesia ada. Nilai-nilai Pancasila itu sudah ada dan mengakar kuat dalam tiga ranah kehidupan yang disebut oleh Prof. Notonegoro, ada di dalam agama, adat istiadat, dan budaya.
“Di situlah nilai-nilai Pancasila itu ada sebagai way of life, pandangan hidup bangsa. Sekali lagi sebagai way of life, pandangan hidup bangsa bukan sebagai pilar, itu awal dari Pancasila sebagai nilai-nilai yang ada di berbagai macam kehidupan kita yang oleh masyarakat kemudian sudah dipahami dan diamalkan sehari-hari,” ujar Sujito kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva.
Berikutnya, kata Sujito, dari sisi historis, muncul rumusan Pancasila sebagai dasar negara untuk negara Indonesia yang akan merdeka. Rumusan Pancasila itu mulai muncul pada Sidang BPUPKI, 1 Juni 1945. Di antara sekian tokoh yang hadir dan berbicara soal itu, Bung Karno lah yang menyebut Pancasila sebagai philosofische grondslag, yaitu fundamen, pondasi, dasar filsafat yang di dalamnya ada hasrat yang sedalam-dalamnya, kehendak yang seluas-luasnya yang di atasnya akan didirikan bangunan negara Indonesia yang merdeka.
Kemudian setelah UUD 1945 disahkan pada 18 Agustus 1945, Pancasila tercantum di bagian pembukaan UUD 1945. Walaupun tanpa ada penyebutan Pancasila secara eksplisit, tetapi sila-silanya eksplisit ada di sana. Di sana juga ada tujuan kita hidup bernegara, Pancasila itu adalah dasar untuk mencapai tujuan hidup bernegara itu.
“Inilah yang dalam terminologi ilmiah disebutnya Pancasila sebagai ideologi. Pancasila sebagai ideologi berisi konsep, pemikiran, gagasan, dari sebuah bangsa untuk mewujudkan atau mencapai kehidupan yang luhur di kemudian hari, sesuai dengan tujuan atau cita-citanya. Sejak 18 Agustus 1945 kita mengenal Pancasila sebagai ideologi. Sekali lagi di situ Pancasila bukan disebut sebagai pilar,” urai Sujito.
Sementara itu Ahli Pemohon lainnya Kaelan sebagai dosen UGM, menerangkan bahwa berdasarkan logika bahasa, empat pilar berbangsa dan bernegara itu berisi empat varian yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Namun demikian, ungkap Kaelan, munculnya istilah Pancasila sebagai pilar akan berakibat pada merusak sistem pengetahuan tentang Pancasila. “Hal itu saya rasakan sendiri dalam setiap pemberian kuliah. Dalam kekosongan ideologi, ketidaktahuan tentang Pancasila sebagai dasar filsafat negara dengan kehadiran terminologi Pancasila sebagai empat pilar dalam program empat pilar akan menimbulkan suatu kekacauan pengetahuan tentang Pancasila,” dalih Kaelan.
Kaelan menjelaskan, fakta menunjukkan munculnya reaksi dan penolakan terhadap program politik tersebut di berbagai daerah. Secara prinsip, visi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 sebenarnya sangat baik, terutama ketentuan tentang pendidikan politik.
“Tetapi pada Pasal 34 ayat (3) huruf b UU a quo, esensi Pancasila yang diletakkan hanya pada tingkatan sebagai pilar itu menimbulkan kesesatan dan menimbulkan kerancuan norma hukum,” tandas Kaelan. (Nano Tresna Arfana)