Perluasan lahan pertanian semakin berkurang karena lahan pertanian dialihfungsikan menjadi lahan lain di luar pertanian. Rendahnya luas lahan pertanian menyebabkan para petani tidak efisien dalam meningkatkan kesejahteraannya. Padahal lahan pertanian merupakan hal penting dan perlu dilindungi. Untuk itulah diberikan hak atas tanah negara yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (UU Perlindungan Petani). Hal ini diungkapkan oleh Ahli Pemerintah Herman Khaeron dalam sidang lanjutan uji materiil UU Perlindungan Petani yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (3/3) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara dimohonkan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia (API), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Terkait kelembagaan petani, pengaturan yang ada di dalam UU Perlindungan Petani hanya untuk memperkuat kelembagaan hingga kelembagaan petani setara dengan lembaga usaha lain dalam pengembangan agribisnis. “Dengan demikian, UU Perlindungan Petani dapat menumbuhkembangkan keberadaan kelompok tani dalam usaha yang produktif, modern dan berkelanjutan,” urainya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Menurut Herman, selaku tim perancang UU Perlindungan Petani, UU Perlindungan Petani tidak bisa terlepas dari undang-undang lainnya, di antaranya UU Pangan dan UU Perkebunan. “Kami sedang merevisi Undang-Undang Perkebunan. Ini penting karena sebagian besar kawasan perkebunan merupakan bagian daripada sebelumnya adalah kawasan kehutanan. Yang ini yang tentunya setelah kemudian dilepaskan dari hak kehutanan menjadi lahan perkebunan, pada suatu saat karena kami sedang membahas terhadap pelaksanaan perkebunan yang bertentangan dengan undang-undang itu akan diambil menjadi tanah negara bebas,” ujarnya.
Pemohon mendalilkan merasa dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 59 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, khususnya sepanjang frasa “hak sewa, izin pengusahaan, izin pengelolaan, atau izin pemanfaatan. Menurut Para Pemohon, frasa tersebut bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Sebab, Para Pemohon beranggapan hak sewa dapat diartikan petani menjadi petani penggarap yang membayar sewa kepada negara itu merupakan ketentuan yang melanggar prinsip dari hak menguasai negara. Seharusnya, negara tidak memiliki tanah garapan tersebut namun negara seharusnya hanya merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, melakukan pengurusan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan.
Selain itu, Para Pemohon juga beranggapan bahwa Pasal 59 UU a quo sepanjang frasa yang sama bertentangan dengan Pasal 28d ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Para Pemohon berargumen bahwa Pasal 44 dan Pasal 45 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria mengatur hak pakai yang mempunyai hak sifat-sifat khusus disebut tersendiri. Hak sewa sejatinya hanya disediakan untuk bangunan-bangunan, sedangkan hak sewa tanah pertanian hanya mempunyai sifat sementara. (Lulu Anjarsari)