Sebanyak 16 jurnalis dari delapan negara mengunjungi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Kehadiran mereka diterima Ketua MK Hamdan Zoelva di lantai 15 Gedung MK, Jakarta, Senin (3/3).
Kunjungan sejumlah jurnalis asing ke MK merupakan salah satu agenda dari organisasi East West Center, yakni organisasi Amerika Serikat dan Asia Pasifik, yang memberikan beasiswa Jefferson Fellowship untuk para jurnalis Amerika Serikat dan Asia Pasifik yang lolos seleksi. Beasiswa berupa kunjungan ke sejumlah negara termasuk Indonesia. Kunjungan jurnalis asing tersebut difasilitasi oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Kepada para jurnalis asing, Hamdan memaparkan sejarah berdirinya MK, yakni pada tahun 2003 setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 diamandemen pada tahun 1999 sampai 2002. MK sendiri, dimasukkan pada perubahan ketiga konstitusi tahun 2001. Amandemen tersebut juga merupakan judicial reform paling besar yang terjadi di Indonesia. Pada saat itu, dimulai penegakan demokrasi di Indonesia, diiringi penegasan jaminan hak asasi manusia dan otonomi daerah.
“Pembentukan MK dilatarbelakangi oleh adanya kebutuhan akan peradilan yang dapat melakukan judicial review UU terhadap UUD 1945,” ujar Hamdan.
Saat Indonesia merdeka sampai pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, imbuh Hamdan, UU tidak bisa diuji materi di peradilan. Masyarakat hanya bisa menguji peraturan pemerintah di bawah UU di Mahkamah Agung.
Hamdan juga menjawab pertanyaan dari beberapa jurnalis, diantaranya putusan pengujian UU yang terbilang sudah sangat maju. “Terutama dalam kaitannya dengan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara, banyak sekali putusan penting yang dikeluarkan oleh MK. Beberapa diantaranya, hak untuk memilih dan dipilih bagi warga negara yang pernah terlibat dalam PKI dan hak untuk menjadi calon kepala daerah perseorangan di luar partai politik. MK pun membatalkan aturan mengenai mantan narapidana yang tidak bisa menjadi pejabat publik. Kini, setelah lima tahun lepas dari tahanan, mantan narapidana bisa menjadi pejabat publik,” jelasnya.
Menjawab pertanyaan mengenai kasus yang pernah ditangani MK, menurutnya kasus paling menantang adalah putusan-putusan MK yang terkait politik. Sebagai lembaga konstitusi tertinggi, MK harus memutuskan seadil-adilnya karena tiap parpol punya kepentingan berbeda. Dengan kata lain, MK harus benar-benar independen.
Terkait teknis permohonan perselisihan hasil Pemilu atau Pemilukada di MK, Hamdan menjelaskan tiga hari setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan perolehan suara hasil Pemilu, calon pemohon dapat mengajukan gugatan ke MK. Dalam Pemilukada, MK harus memutuskan dalam waktu 14 hari dan untuk pemilu legislatif, MK membutuhkan waktu 30 hari. “Biasanya alasan-alasan yang menjadi dasar gugatan adalah masalah penggelembungan atau pengurangan suara, syarat-syarat kandidat yang memenuhi syarat/tidak memenuhi syarat, dan pelanggaran Pemilu yang bersifat masif, terstruktur, serta sistematis,” paparnya.
Korupsi di Mata Ketua MK
“Menurut saya, banyak sistem yang harus diperbaiki untuk mencegah tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat. Sepanjang sistem tidak dibangun dengan baik, masih akan terjadi tindakan korupsi,” ujar Hamdan.
Upaya hukum nyata yang dilakukan Indonesia untuk menekan angka korupsi adalah dengan menguatkan aturan perundang-undangan. Apabila ada penyelenggara negara yang terlibat korupsi, kata Hamdan, hukumannya 1/3 lebih berat daripada yang bukan penyelenggara negara. Hukuman tertinggi bagi koruptor adalah hukuman mati, apabila korupsi dilakukan ketika terjadi bencana alam. “Sedangkan dalam kondisi selain bencana alam, maksimal hukuman bagi koruptor adalah 20 tahun kurungan,” tandasnya. (Lulu Hanifah/mh)