Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana Perkara Pengujian Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dimohonkan oleh Dewan Pengurus Provinsi Asosiasi Pengusaha Indonesia Jawa Timur (DPP Apindo Jatim), Kamis (27/2). Pada sidang kali ini hadir Ketua DPP Apindo Jatim sekaligus sebagai Direktur Utama PT Maspion, Alim Markus yang didampingi beberapa staf Apindo.
Di hadapan panel hakim yang diketuai Anwar Usman, Alim Markus langsung menyampaikan keinginannya agar permasalahan UMR yang saat ini ditangani pemerintah daerah, dikembalikan seperti semula dengan ditangani langsung oleh menteri tenaga kerja. Alim Markus beralasan, saat ini setelah UMR diserahkan kepada pemerintah daerah justru setiap tahunnya banyak aksi demonstrasi yang digelar para pekerja.
“Kami mohon, Pak, masalah UMR, UMK, dulunya kan ditangani oleh menteri tenaga kerja, dulu tidak begitu ada banyak demonya. Setelah diserahkan pada bupati, walikota, gubernur, malah tiap tahun demonya bertubi-tubi, Pak. Jadi kami minta dikembalikan pada yang seasalnya,” ujar Alim Markus.
Hal tersebut kembali ditegaskan oleh Staf Apindo Jatim, Beni Lukito. Ia mengatakan Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Sebab, Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan mengatur penentuan upah minimum pekerja dengan didasarkan pada komponen kebutuhan hidup layak yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi melalui Peraturan Menakertrans Nomor 13 Tahun 2012. Padahal, kebutuhan hidup layak menurut Pemohon pasti akan mengalami kenaikan tiap tahunnya sehingga terus-menerus merugikan perusahaan bermodal kecil. Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan secara lengkap berbuni sebagai berikut.
Pasal 88
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memerhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi
Sedangkan, lanjut Beni, Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional.
“Dengan adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, terjadilah desentralisasi untuk menetapkan UMK, sehingga setiap tahun pada dasarnya UMK itu harus ditetapkan sebagai jaring pengaman, safety net. Dari semangat dan jiwa asal mulanya UMK itu tidak mencapai atau menuju untuk kehidupan rakyat. Namun, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 88 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, gubernur, khususnya dalam hal ini Gubernur Provinsi Jawa Timur, menetapkan upah minimum regional sebagai UMK di atas KHL. Bahkan, lebih ekstrim lagi plus pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Jadi bukan lagi sebagai makna jaring pengaman. Itulah keberatan yang kami rasa,” jelas Beni.
Selain itu, Para Pemohon juga keberatan dengan ketentuan dalam Pasal 89 ayat (3) UU Ketenagakerjaan yang memerintahkan upah minimum ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan/atau bupati walikota. Ketentuan tersebut, lanjut Beni, memiliki makna yang multitafsir. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut.
Pasal 89
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota
Kata “memperhatikan” dalam pasal tersebut itulah yang dianggap Para Pemohon telah menimbulkan banyak penafsiran. Pasalnya, kata “memperhatikan” bisa saja hanya dijadikan dasar pengajuan atau dijadikan perhatian semata sehingga pada akhirnya gubernurlah yang menetapkan dan menambahkan pertumbuhan ekonomi plus inflasi.
“Kami ingin agar dalam ketentuan Pasal 89 ayat (3) tersebut akan nanti menjadi, ‘upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh gubernur harus berdasarkan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan/atau bupati walikota’. Jadi, artinya bukan hanya memperhatikan, tetapi harus berdasarkan,” tukas Beni. (Yusti Nurul Agustin/mh)