Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak seluruh Permohonan Perkara Pengujian Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang dimohonkan Komisi Perlindungan Anak (KPAI), Yayasan Kampus Diakonia Modern, dan Yayasan Elsafan, dan beberapa lembaga independen lainnya yang kesemuanya berjumlah 12, Rabu (5/6). Mahkamah berpendapat permohonan Para Pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Sebelumnya, Para Pemohon memasalahkan adanya frasa dalam Penjelasan Umum UU 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang terdapat pada alinea kesepuluh, kalimat ketiga. Penjelasan umum tersebut berbunyi, “Pencatatan Sipil pada dasarnya juga menganut stelsel aktif bagi Penduduk”. Penjelasan tersebut juga menjadi asas hukum dalam UU Administrasi Kependudukan dan menjadi rujukan bagi perumusan norma dalam UU Administrasi Kependudukan.
Norma tersebut mengatur bahwa asas pencatatan sipil membebankan kewajiban pada penduduk untuk mendaftarkan setiap peristiwa penting, termasuk kelahiran anak. Menurut para Pemohon, proses pembuatan akta kelahiran seharusnya negara bertanggung jawab penuh, tidak hanya sampai pada proses pembuatan kebijakan (beleid) semata. Karena itulah Para Pemohon berpendapat Pemerintah telah salah dan mengabaikan hak konstitusional dan hak asasi atas akta kelahiran karena justru membebankan tanggung jawab pembuatan akta kelahiran di tangan warga negaranya.
Terhadap permohonan Para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat peristiwa kependudukan, termasuk kelahiran, merupakan kejadian yang harus dilaporkan karena membawa implikasi perubahan data identitas atau surat keterangan kependudukan. Setiap peristiwa kependudukan memerlukan bukti yang sah untuk dilakukan pengadministrasian dan pencatatan.
Pada hakikatnya negara memang berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia yang berada di dalam dan/atau di luar negeri.
Lebih lanjut, Mahkamah menyatakan pendaftaran kelahiran merupakan hak anak. Di samping itu, negara pun memiliki kewajiban yang sama. Namun demikian, negara memiliki aparat yang sangat terbatas, dengan cakupan wilayah yang sangat luas, dan dengan jumlah penduduk yang sangat banyak tidak mungkin mampu untuk mengetahui satu persatu peristiwa kelahiran yang terjadi di wilayahnya.
“Oleh kerena itu, merupakan kewajiban bagi setiap warga negara untuk melaporkan setiap peristiwa kelahiran yang terjadi. Pencatatan kelahiran bukan hanya sekadar dicatat tentang lahirnya seseorang tetapi juga menyangkut persoalan hukum yang lebih luas yaitu status anak dari seseorang. Dalam hal yang demikian, orang tuanya, walinya, atau bahkan orang lain yang mengetahui adanya peristiwa tersebut dalam hal orangtua atau walinya tidak ada. Oleh karena itu, adalah suatu kewajaran bahwa, di samping ada kewajiban negara untuk mencatat juga ada kewajiban warga negara untuk melaporkan peristiwa kelahiran tersebut. Dengan demikian bukan merupakan kewajiban yang mengada-ada manakala pilihan kebijakan di dalam undang-undang tersebut (UU Administrasi Kependudukan) menganut asas stelsel aktif,” ujar Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati membacakan pendapat Mahkamah dalam putusan No. 54/PUU-XI/2013 itu.
Mahkamah juga berpendapat peran serta setiap penduduk melaporkan setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialaminya, termasuk kelahiran, merupakan salah satu bentuk kesadaran dan kepedulian warga negara dalam menentukan status hukum sebagai warga negara dalam kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (4) UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah menilai permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. (Yusti Nurul Agustin/mh)