Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Aliansi Petani Indonesia (API) selaku Pemohon Pengujian Undang-Undang Pangan menghadirkan sejumlah petani sebagai saksi dalam sidang yang digelar MK, Selasa (25/2). Para saksi yang dihadirkan menyampaikan keterangan yang menguatkan dalil Pemohon mengenai potensi pelanggaran hak hidup sejahtera dan lingkungan hidup oleh UU Pangan.
Jito, salah satu petani dari Desa Wangkuk, Indramayu mengatakan ia tergabung dalam Kelompok Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) yang dibentuk oleh pemerintah. Sejak bergabung dengan KTNA pada tahun 2000, Jito merasa tidak mendapatkan keuntungan apapun. Ia justru merasa dibodohi dengan bergabung dengan KTNA yang bentukan pemerintah itu.
“Pada tahun 2000-an saya bergabung dengan Kelompok Tani Nelayan Andalan atau KTNA. Di situ semua programnya kalau menurut saya pembodohan terhadap petani. Karena di situ setiap ada penyuluhan dari PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) itu selalu membawa formulator dari perusahaan-perusahaan pestisida. Formulator dan PPL mencekoki para petani untuk menggunakan pestisida tetapi yang kami rasakan sekarang ini menurut saya adalah pencemaran sehingga ekosistem yang ada di lahan kami itu tidak seimbang,” ungkap Jito yang berasal dari keluarga petani.
Hal serupa juga dikatakan Nurhidayat selaku anggota pemuda tani di Komunitas Belajar Sabalad, Pangandaran, Jawa Barat. Nurhidayat juga membenarkan bahwa saat ini banyak petani yang menggunakan pestisida dan sering ditemukan beberapa kasus keracunan pestisida. Nurhidayat mengungkapkan, pestisida bahkan sampai disebut sebagai “obat” oleh para petani. Hal itu dikarenakan penggunaan pestisida yang dianjurkan oleh pemerintah sekaligus disubsidi oleh pemerintah hingga masuk ke daerah-daerah.
“Di PPL-PPL itu tidak ada yang menganjurkan pertanian ramah lingkungan. Tidak ada yang mendidik petani, tidak ada yang mengajak pemuda-pemuda untuk bertani untuk belajar bagaimana bertani dengan yang baik, bagaimana yang sesuai dengan lingkungan. Eh, ini malah menganjurkan pestisida,” ujar Nurhidayat yang juga mengatakan ada kasus keracunan pestisida di Indramayu yang ia temukan saat mengedit film dokumenter tentang pertanian.
“Karena ilmu saya di media dan di pertanian, saya membuat rekaman-rekaman apa yang bisa membantu petani untuk menjalankan pertanian ekologis. Kemarin dari Indramayu, Pak, ada video orang yang keracunan gara-gara di pestisida dan dia menggeletak sendiri. Saya yang mengedit filmnya itu, Pak. Dan itu dijadikan referensi untuk teman-teman di organisasi-organisasi lain untuk dijadikan bahan studi,” tutur Nurhidayat lagi.
Selain fakta-fakta mengenai penggunaan pestisida, kedua saksi tersebut juga mengungkapkan adanya penggunaan bibit hasil rekayasa genetik. Penggunaan bibit tersebut menurut keduanya justru membahayakan karena menghasilkan tanaman mutan yang berbahaya bagi kesehatan. Keterangan dua saksi tersebut menguatkan dalil Pemohon yang salah satunya mengatakan Pasal 69 huruf c UU Pangan bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 karena berpotensi melanggar hak hidup sejahtera dan lingkungan hidup yang baik serta sehat dan tidak menjamin terjadinya keamanan pangan karena teknologi rekayasa genetik sendiri belum bisa dikontrol oleh Pemerintah. (Yusti Nurul Agustin/mh)