Sidang lanjutan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (26/2). Kepaniteraan MK mencatat permohonan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dengan Nomor 96/PUU-XI/2013.
Dalam sidang tersebut, hadir Pihak Terkait dari perkumpulan Advokasi Buruh untuk Keadilan yang diwakili oleh Muhammad Isnur menjelaskan UU Ketenagakerjaan menjamin kesetaraan antara buruh dengan majikan (pengusaha). Menurutnya, permohonan Pemohon kabur (obscuur libel) bahwa yang dijadikan dasar oleh pemohon dengan membandingkan dua hal yang berbeda, namun dijadikan satu permohonan sehingga menyebabkan permohonan Pemohon kabur.
“Di satu sisi, hak konstitusional pemohon merasa dirugikan, tapi yang dimohonkan pemohon adalah nota pemeriksaan yang menimbulkan ketidakpastian hukum, namun di lain pihak pemohon mempermasalahkan frasa ‘demi kepastian hukum’ sehingga permohonan tidak jelas dan menyesatkan,” paparnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat.
Sementara Ahli Pemohon M. Hadi Subhan, menjelaskan tidak semua perselisihan dengan pengusaha harus bermuara pada pengadilan hubungan industrial. Seharusnya pengusaha tidak perlu disetarakan dalam hal perlindungan terhadap buruh seperti halnya buruh. “Pengusaha harus diproteksi dari penguasa, bukan dari buruh seperti yang terjadi dalam UU Ketenagakerjaan,” imbuhnya.
Dalam pokok permohonannya, dalam pendapat Mahkamah dalam Putusan Perkara Nomor 27/PUUIX/2011 menyatakan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 59 bukanlah persoalan konstitusionalitas melainkan hanya persoalan implementasi, namun pada kenyataannya persoalan implementasi Pasal 59 ayat (7) UU a quo menjadi persoalan konstitusionalitas karena penegakan norma dilakukan tidak sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku. Sedangkan, dalam Pasal 65 ayat (8) UU tersebut, justru memberikan ketidakjelasan pada saat implementasi karena adanya penafsiran yang berbeda-beda. Sementara itu, implementasi Pasal 66 ayat (4) UU tersebut bersifat multitafsir dari para stake holder bidang hubungan industrial di Indonesia, yaitu terkait dengan jenis-jenis pekerjaan yang dapat diserahkan melalui perusahaan pemborongan, lembaga mana yang berwenang untuk menentukan terpenuhi atau tidaknya norma a quo, dan mekanisme penegakan norma hukum apabila tidak terpenuhi syarat-syarat berkaitan dengan jenis pekerjaan yang diserahkan melalui Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja (PPJTK) dan legalitas syarat badan hukum PPJTK tersebut. (Lulu Anjarsari/mh)