Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) memperbaiki permohonannya dalam pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Dalam perkara nomor 8/PUU-XII/2014 tersebut, pemohon menguatkan kedudukan hukumnya (legal standing).
Pada sidang kedua pengujian UU tentang Penanganan Konflik Sosial, Pemohon yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Wahyudi Djafar, memperinci kerugian konstitusional pemohon. Menurut Wahyudi, akibat ketidakpastian hukum yang muncul dengan adanya Pasal 16 dan Pasal 26 UU Penanganan Konflik Sosial, masyarakat Indonesia secara luas akan mengalami kerugian konstitusional.
“Ketika mengalami keadaan konflik, bisa keluar pernyataan keadaan darurat dari dua institusi pemerintah sekaligus, yakni presiden bisa menetapkan status keadaaan darurat sipil berdasarkan UU Nomor 23/PRP/1959 tentang Keadaan Bahaya. Begitu juga kepala daerah berdasarkan UU PKS juga mengeluarkan status keadaan darurat. Kalau begitu, masyarakat tunduk ke yang mana?” ujar Wahyudi usai persidangan.
Hal tersebut, sambungnya, menimbulkan ketidakpastian hukum dan memperlihatkan bahwa para pemohon secara potensial juga mengalami kerugian konstitusional atas berlakunya pasal dalam UU Penanganan Konflik Sosial. Lebih lanjut, pemohon juga merupakan pembayar pajak sehingga punya kepentingan hukum untuk mewakili kepentngan publik yang lebih luas.
Pada sidang perdana, Hakim Konstitusi Harjono menyinggung soal kapan pengerahan militer dilakukan. Menjawab hal tersebut, dalam permohonannya pemohon menjelaskan pada konteks keadaan darurat, pengerahan militer bisa saja dilakukan. Namun, imbuh Wahyudi, kewenangan pengerahan militer hanya ada pada presiden tidak bisa diserahkan ke institusi yang lebih rendah karena konstitusi mengatur seperti itu. “Oleh karena itu, penetapan status konflik sosial memang seharusnya berada di tangan Presiden,” tandas Wahyudi.
Sebelumnya, sejumlah LSM yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta Wakil Direktur Human Rights Working Group (HRWG), M. Choirul Anam dan Dosen Universitas Pertahanan Indonesia serta Direktur Program Ridep Institute, Anton Aliabbas memohonkan pengujian dua pasal, yakni Pasal 16 dan Pasal 26 UU Penanganan Konflik Sosial. Kedua pasal tersebut berbunyi:
Pasal 16
Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) ditetapkan oleh bupati/wali kota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD kabupaten/kota.
Pasal 26
Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota dapat melakukan:
a. pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk sementara waktu;
b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu;
c. penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk sementara waktu; dan
d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara waktu.
Pemohon tersebut didasarkan pada tidak konsistennya UU Penanganan Konflik Sosial dengan UU Keadaan Bahaya tentang kewenangan penetapan status keadaan konflik, termasuk skala kabupaten/kota. Penetapan status tersebut seharusnya dilakukan oleh presiden, bukan bupati/wali kota .
Majelis hakim panel yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman dengan anggota Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dan Ahmad Fadlil Sumadi menerima perbaikan permohonan dan mengesahkan bukti P-1 sampai P-21. Hasil sidang panel hari ini akan disampaikan pada rapat pleno. (Lulu Hanifah/mh)