Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pada Selasa (25/2) di Ruang Sidang MK. Kepaniteraan MK mencatat Habiburokhman selaku pemohon perkara yang teregistrasi dengan Nomor 13/PUU-XIII/2014.
Dalam pokok permohonannya, Habiburokhman yang hadir tanpa diwakili oleh kuasa hukum sesungguhnya ingin menguji Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 yang memutuskan Pemilu serentak berlaku pada 2019 dan Pemilu berikutnya. Menurutnya, putusan MK tersebut memiliki dua masalah besar, yakni ketidaksinkronan amar yang menjelaskan bahwa Pemilu yang tidak serentak bersifat inkonstitusional dan putusan ini baru berlaku pada Pemilu 2019 mendatang.
"Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menurut saya mengandung dua masalah besar. Dua masalah besar itu adalah yang pertama persoalan ketidaksinkronan yang terdapat pada diktum pertama dan poin pertama dan poin kedua pada amar putusan. Di mana poin pertama menyatakan pasal-pasal yang menganut prinsip tidak serentak itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Sementara di poin yang kedua, amar putusan menyatakan keputusan ini baru berlaku pada pemilu 2019," jelasnya di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yag dipimpin oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat.
Sementara persoalan kedua, Habiburokhman berkeberatan dengan tidak turut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dengan konstitusi dan tidak turut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 9 yang diajukan uji materi oleh Pemohon. "Padahal menurut kami pasal tersebut adalah pasal yang menganut prinsip pemilu tidak serentak," terangnya.
Siapa Mengadili PK?
Menanggapi permohonan tersebut, Majelis Hakim yang juga dihadiri oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim dan Ahmad Fadlil Sumadi memberikan saran perbaikan terhadap permohonan Pemohon. Menurut Alim, Putusan MK tidak dapat diajukan untuk dilakukan Peninjauan Kembali (PK) seperti di Mahkamah Agung. Alim menjelaskan putusan tersebut diambil oleh kedelapan hakim konstitusi secara mufakat. "Jika Saudara meninjau kembali, lalu siapa yang mengadili? Yang mengadili dulu itu delapan orang misalnya begitu. Nah, ini persoalan yang pertama. Karena kalau di Mahkamah Agung misalnya, kalau PK itu tidak boleh diadili oleh Hakim Agung yang mengadilinya dahulu. Nah, di sini kalau ini PK, siapa mengadili nanti di sini? Wong sudah delapan saja itu yang mengadili dahul," paparnya.
Sementara Wakil Ketua MK Arief Hidayat menyarankan jika pemohon akan membuat permohonan baru dengan menggunakan pasal-pasal yang pernah diputus, maka uraian alasannya harus berbeda. Hal ini, lanjut Arief, agar permohonan tersebut tidak diputus pernah diadili (nebis in idem).
"Saudara meminta permohonan baru untuk melakukan judicial review Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres. Kan ini sudah pernah diputus Mahkamah Konstitusi. Nah, supaya tidak nebis in idem, maka Saudara harus menguraikan bahwa permohonan Saudara tidak nebis in idem. Itu harus dijelaskan. Karena kalau kita lihat permohonan Saudara, pasal-pasal yang diujikan atau objek yang diajukan permohonan, itu semua objeknya sudah dibatalkan dan tidak ada," tuturnya.
Pemohon diberi waktu perbaikan selama 14 hari kerja. Sidang berikutnya akan mengagendakan pemeriksaan perbaikan permohonan. (Lulu Anjarsari/mh)