Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) yang diwakili oleh M. Komarudin memperbaiki permohonan judicial review Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945. Dalam sidang kedua yang digelar di Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (25/2), pemohon menguraikan lebih lanjut kerugian konstitusional yang dialami.
Pemohon pun memperbaiki petitum permohonannya. Dalam petitum perkara nomor 7/PUU-XII/2014 yang baru, pemohon meminta MK memaknai frasa ‘demi hukum’ menjadi ‘meniadakan hak pekerja/buruh untuk meminta pelaksanaan nota pegawai pengawas ketenagakerjaan pada instasi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan ke pengadilan negeri melalui pengadilan hubungan industrial setempat apabila perusahaan pemberi pekerjaan nyata-nyata tidak mengubah status pekerja waktu tertentu menjadi waktu tidak tertentu kepada yang diberi pekerjaan’.
Pemohon juga memastikan permohonannya tidak ne bis in idem lantaran pengujian Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU a quo berbeda dengan pengujian UU Ketenagakerjaan yang sebelumnya juga pernah diuji ke MK. “Saran hakim itu kan kekhawatiran ne bis in idem karena pernah diajukan. Tetapi ini berbeda. Yang sebelumnya lebih kepada perbudakan modern, kalau kita lebih kepada adanya kekosongan hukum ketika pemerintah setempat atau pejabat terkait yang ditunjuk oleh menteri langsung sudah menetapkan (status pekerja kontrak ke tetap) tetapi tidak ada tahapan selanjutnya, sehingga kita tidak bisa berbuat apa-apa, itu kita masukkan di petitum,” jelas Komarudin seusai persidangan.
Pada sidang sebelumnya, Pemohon menilai adanya ketidakpastian hukum dalam frasa “demi hukum” yang tertuang dalam Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8), dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.
Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan berbunyi:
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Pasal 65 ayat (8) UU Ketenagakerjaan berbunyi:
Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.
Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan berbunyi:
Dalam hal ketentuan sebagaumana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara oejerha/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
Frasa ‘demi hukum’ dalam ketiga pasal tersebut berpotensi bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Komarudin menjelaskan bahwa frasa itu diatur sebagai akibat dari tidak terpenuhinya perubahan status pekerja. Kewenangan menetapkan pekerja kontrak menjadi pekerja tetap berada dalam kewenangan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dengan menerbitkan hasil pemeriksaan serta penetapan tertulis yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbutkan akibat hukum bagi seseorang.
Sayangnya, penetapan tertulis dari instansi berwenang di bidang ketenagakerjaan itu seringkali tidak dipatuhi atau dijalankan oleh pengusaha sehingga tidak adanya pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum status hubungan kerja pekerja/buruh, serta untuk tetap menjaga hubungan industrial yang kondusif, pelaksanaan penetapan tertulis itu dapat dimintakan ke pengadilan negeri, yakni pengadilan hubungan industrial untuk dilaksanakan menurut aturan-aturan yang berlaku.
Menanggapi perbaikan permohonan para Pemohon, majelis sidang panel yang diketuai Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dengan anggota Hakim Konstitusi Muhammad Alim dan Ahmad Fadlil Sumadi meminta Pemohon menyiapkan saksi-saksi untuk sidang selanjutnya. “Kami akan membawa perkara ini ke rapat permusyawaratan hakim untuk mempersiapkan langkah-langkah selanjutnya. Saudara juga kami minta mempersiapkan diri seperti menyiapkan saksi dan ahli,” ujar Patrialis sebelum menutup sidang. (Lulu Hanifah/mh)