Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) selaku pemohon memperbaiki permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 102 dan Pasal 103 dalam sidang kedua di Ruang Sidang Pleno, Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (24/2/2014).
Dalam perbaikan permohonan tersebut, Refly Harun selaku kuasa hukum pemohon menegaskan adanya perubahan yang tidak konsisten dalam tingkat pemerintah, khususnya Kementerian Energi Sumberdaya Mineral (ESDM). Tidak konsistennya pemerintah ditunjukkan dalam tingkat implementasi Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba tersebut. Kedua pasal diartikan oleh pemerintah sebagai larangan ekspor biji (raw material) secara langsung. Larangan tersebut diberlakukan sejak 12 Januari 2014. Namun, tafsir pemerintah itu dinilai pemohon bertentangan dengan beberapa pasal dalam UUD 1945.
Menurut Refly, ketentuan dari PP Nomor 23 Tahun 2010 Poin 45 di Pasal 84 ayat (3) tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertama Mineral dan Batubara yang sesungguhnya berbunyi pemegang IUP operasi produksi dan IUPK operasi produksi dapat melakukan ekspor mineral atau batubara yang diproduksi setelah terpenuhinya kebutuhan batubara dan mineral dalam negeri sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1).
“Inti dari peraturan pemerintah itu sesungguhnya tidak melarang ekspor, tapi muncul peraturan pemerintah terbaru No. 1 Tahun 2014 pada poin 59, misalnya di situ dikatakan bahwa pemegang IUP operasi produksi sebagaimana dimaksud pada angka 2 yang melakukan kegiatan penambahan mineral logam dan telah melakukan kegiatan pengolahan dapat melakukan penjualan dalam jumlah tertentu. Jadi, satu dapat melakukan ekspor, ini cuma jumlah tertentu, kemudian jumlah tertentu itu dielaborasi lagi di dalam peraturan Menteri ESDM yang mengakibatkan ada yang boleh menjual, ada yang tidak,” ujarnya.
Dengan kata lain, PP No 23 Tahun 2010 tidak melarang ekspor biji mentah, sementara peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 total melarang tiga bulan sejak permen itu diterbitkan. Kemudian perubahannya mengatakan ada boleh mengekspor asal kemudian memenuhi syarat-syarat tertentu. Perubahan berikutnya, yaitu Permen No. 1 Tahun 2014 tidak boleh mengekspor setelah waktu 5 tahun, tetapi setelah diprotes boleh mengekspor dengan syarat-syarat tertentu.
“Yang Mulia, ada perubahan-perubahan kebijakan yang tidak konsisten dalam tingkat peraturan pemerintah dan kemudian dalam tingkat peraturan Menteri ESDM. Faktanya di lapangan, sekarang ini terjadi pelarangan ekspor yang mengakibatkan kemudian kerugian-kerugian yang kami tambahkan di dalam legal standing Pemohon,” jelas Refly.
Pemohon pun menunjukkan bukti adanya perubahan kebijakan yang tidak konsisten dalam tingkat pemerintah dan ESDM dalam menafsirkan pasal a quo. Karena penafsiran tersebut, kata Refly, saat ini terjadi pelarangan ekspor yang menimbulkan kerugian. Salah satunya kerugian bagi pemohon yang sudah dilampirkan sebagai bukti. Oleh karena itu, pemohon meminta MK menafsirkan pasal-pasal yang diuji.
Mengenai kewenangan MK dalam menafsirkan UU, pemohon berpatokan pada putusan MK sebelumnya. Ketika ada ketidakpastian dalam UU, MK dapat menafsirkannya. Hal tersebut dinyatakan MK dalam putusannya Nomor 110, 111, 112, 113/PUU-VII/2009 di poin 64 yang jelas-jelas mengatakan bahwa MK juga pernah menyatakan berwenang untuk menerapkan dan menafsirkan UU.
Selain itu, kendati pemohon mempersoalkan peraturan di bawah UU, Refly menegaskan persoalan yang terkait peraturan di bawah UU bisa jadi persoalan konstitusional apabila penerapannya berulang-ulang dan exhausted. “Kami memandang hal ini bukan lagi masalah peraturan di bawah undang-undang, tetapi masalah konstitusional, yaitu menimbulkan ketidakpastian hukum menyangkut tafsir Pasal 102 dan Pasal 103 yang kami persoalkan,” tandasnya. (Lulu Hanifah/mh)