Salah satu tuntutan reformasi politik 1998 adalah amandemen UUD 1945. “Sebelum dilakukan amandemen, UUD 1945 terdiri atas pembukaan, batang tubuh dan penjelasan. Setelah perubahan, UUD 1945 terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal,” kata Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK) Janedjri M. Gaffar yang menjadi narasumber Diklat Kedisiplinan bagi calon pegawai MK pada Minggu (23/2) di Rindam Jaya, Condet, Jakarta Timur.
Janedjri menjelaskan, ada beberapa hal yang menjadi latar belakang dilakukannya amandemen UUD 1945. Di antaranya, karena kekuasaan yang besar dari MPR, bahkan menyatakan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Hal lain, karena kekuasaan yang sangat besar pada Presiden.
“Berikutnya, karena pasal-pasal dalam UUD 1945 terlalu luwes, sehingga menimbulkan multi tafsir. Contoh, dalam ketentuan UUD 1945 sebelum perubahan, disebutkan masa jabatan Presiden selama lima tahun, dan periode berikutnya dapat dipilih kembali. Dapat dipilih kembali tidak dijelaskan berapa lama masa jabatan Presiden, ini tidak jelas,” urai Janedjri yang menyampaikan materi “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI”.
Dikatakan Janedjri, amandemen UUD 1945 bertujuan untuk menjawab tuntutan reformasi, untuk menyempurnakan hal-hal yang berkaitan dengan tata negara, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, pemisahan kekuasaan, kesejahteraan sosial, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum dan hal-hal lain sesuai perkembangan aspirasi bangsa.
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi lahir pada amandemen UUD 1945. Hingga secara resmi MK dibentuk pada 13 Agustus 2003. Mengapa kehadiran MK diperlukan? “Dengan adanya perubahan UUD, tidak ada lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara. Struktur ketatanegaraan kita tidak lagi vertikal-hierarkis, tetapi horisontal-fungsional. Semua lembaga negara yang pembentukannya diperintahkan oleh UUD, yang kewenangannya diatur secara limitatif oleh UUD, sederajat,” papar Janedjri.
“Perubahan struktur ketatanegaraan tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa sesama lembaga negara. Oleh karenanya, MK diberi kewenangan untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara. Misalnya pernah terjadi sengketa antara DPD dan DPR, kaitannya dengan pengajuan calon anggota BPK,” kata Janedjri.
MK juga punya kewenangan menguji UU terhadap UUD, sebagai kewenangan yang utama. Selain itu, MK berwenang memutus pembubaran parpol, tidak boleh Presiden yang notabene orang parpol membubarkan parpol lain. Hal ini akan menimbulkan conflict of interest.
“Berikutnya, Mahkamah Konstitusi berwenang memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Ini juga dilatar belakangi oleh pemikiran secara teoritis. Elemen kunci, instrumen utama dari demokrasi adalah pemilu yang harus dilaksanakan secara demokratis. Demi mewujudkan pemilu yang demokratis, perlu sebuah lembaga peradilan yang memutus perselisihan hasil pemilu yang ada pada Mahkamah Konstitusi,” ucap Janedjri.
Mahkamah Konstitusi punya kewajiban untuk memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, dan atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
“Secara empiris sudah saya jelaskan, ternyata dilatarbelakangi oleh peristiwa impeachment Presiden Gus Dur. Ternyata Presiden Gus Dur dimakzulkan bukan karena kasus Bulog Gate dan Brunei Gate. Meskipun pintu awalnya adalah dua kasus tersebut. Pada kenyataannya, ketika MPR menggelar sidang istimewa yang sebenarnya untuk meminta pertanggungjawaban Gus Dur terkait kasus Bulog Gate dan Brunei Gate, berubah haluan menjadi pintu masuknya maklumat Presiden yang isinya antara lain membubarkan MPR, DPR, Partai Golkar,” terang Janedjri yang juga menjelaskan bahwa sejak 2008 kewenangan MK diperluas dengan memutus sengketa hasil perolehan suara dalam pemilu kepala daerah.
Lebih lanjut Janedjri menerangkan teori tentang kedaulatan, yakni ada Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Negara Kedaulatan Raja, Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Hukum.
“Kalau Anda mempelajari UUD, Anda dapat mengetahui bahwa UUD 1945 menganut paham Kedaulatan Rakyat sekaligus paham Kedaulatan Hukum,” kata Janedjri yang didampingi Kepala Biro Keuangan dan Kepegawaian MK, Rubiyo.
“Kedaulatan Rakyat artinya rakyat lah yang berdaulat, paham ini menghasilkan sistem yang disebut demokrasi. Kalau paham Kedaulatan Hukum menghasilkan sistem nomokrasi. Demokrasi harus diimbangi nomokrasi,” ujar Janedjri.
Di luar semua yang telah diungkapkan Janedjri, ia merasa prihatin dengan peristiwa yang dialami Akil Mochtar yang disebutnya sebagai ‘Prahara Oktober’.
“Itu kan integritas. Sebaik apa pun pengawasan yang dibangun, kalau integritasnya jelek, ya tidak ada gunanya,” tandas Janedjri. (Nano Tresna Arfana/mh)